Artikelini membahas representasi budaya lokal dan kesenian tradisional Jawa Timur dalam novel Samaran dan buku puisi Ludruk Kedua karya Dadang Ari Murtono.
Ludruk – Seni Pentas Tradisi Jawa Timur Jula-juli bintang tujuh, arek-arek suroboyo Wong tuwane gak setuju, banjur anake digowo lungo Jika masyarakat Jawa Tengah punya Ketoprak sebagai tontonan hiburan, dan Betawi punya Lenong, masyarakat Jawa Timur juga punya seni teater tradisional yang namanya Ludruk. Ludruk adalah kesenian drama tradisional asli Jawa Timur yang konon katanya berasal dari daerah Jombang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa dengan dialek Jawa Timuran yang unik. Dalam perkembangannya, Ludruk menyebar ke daerah-daerah sebelah barat seperti Madiun, Kediri, dan sampai ke Jawa Tengah. Ciri-ciri bahasa dialek Jawa Timuran tetap terbawa meskipun semakin ke barat makin luntur menjadi bahasa Jawa setempat. Dalam pementasannya, Ludruk menggunakan perangkat alat musik yang terdiri dari kendang, cimplung, jidor, dan gambang. Selain itu sering juga ditambah alat musik lainnyayang tergantung pada kemampuan grup yang memainkan ludruk tersebut. Lagu gending yang menjadi ciri khas Ludruk adalah Jula Juli yang biasanya selalu dinyanyikan oleh penari Ngremo pada saat pembukaan pertunjukan Ludruk. [iklan] Seluruh pemain Ludruk adalah lelaki. Bila dalam cerita yang dimainkan ada peran wanita maka yang memainkannya adalah lelaki. Hal ini merupakan ciri khas dari Ludruk, karena pada masa kemunculannya dulu, wanita tidak diperbolehkan tampil di depan umum. Sebagai seni tradisional yang asli Jawa Timur, Ludruk wajib menggunakan Bahasa Jawa logat atau dialek Surabaya atau Malang yang lugas unik. Karena itulah maka pertunjukan ludruk mudah diserap oleh semua kalangan. Cerita yang disajikan dalam pertunjukan Ludruk umumnya tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan, atau cerita-cerita lainnya, yang hampir di setiap adegan selalu disisipi dengan lawakan dan ditambah dengan iringan musik gending dan lagu tembang. Sungguh sangat menghibur. Walau fungsinya sama-sama menghibur, tapi ada perbedaan mencolok antara ludruk dengan ketoprak dari Jawa Tengah . Salah satu perbedaan tersebut adalah dalam penyajian cerita. Dalam setiap pertunjukannya, Ludruk mengangkat cerita kehidupan sehari-hari, cerita perjuangan, dan sebagainya. Latar waktu cerita yang dibawakan adalah keadaan saat ini. Sementara, Ketoprak membawakan kisah yang terjadi di masa lalu berdasarkan sejarah atau dongeng. Karena cerita yang dibawakan merupakan cerita sehari-hari, yang dekat dengan kehidupan masyarakat, Ludruk pun digemari oleh semua kalangan masyarakat. Selain itu, walau menggunakan bahasa Jawa Timur, guyonan yang dilontarkan para pemain Ludruk pun dapat dimengerti oleh orang dari luar Jawa Timur. Ini dikarenakan para pemain tidak hanya mengandalkan guyonan dalam bentuk perbincangan, tapi juga dalam gerak. Tidak ada pakem yang pasti dalam pertunjukan ludruk, baik mengenai jumlah pemain, jumlah babak, dan sebagainya. Begitu pula dengan cerita yang dibawakan. Biasanya, dalam pertunjukan ludruk, sangat dipentingkan kemampuan para pemain untuk dapat berimprovisasi dan mengembangkan jalan cerita yang sudah dibuat. Pemain Ludruk harus pintar berimprovisasi karena setiap pementasan tidak menggunakan naskah. Penampilan mereka biasanya diiringi musik gamelan dan tembang khas jula-juli. Kostum yang dipakai pun menggambarkan kehidupan rakyat sehari-hari. Pementasan Ludurk biasanya dibagi menjadi beberapa babak, dan setiap babak juga dibagi lagi menjadi beberapa adegan. Di sela-sela bagian ini biasanya diisi selingan yang berupa tampilan seorang penampil dengan menyajikan satu tembang jula-juli. Asal Usul Istilah Ludruk Mengenai istilah atau nama Ludruk ada beberapa pendapat. Cak Markaban, tokoh Ludruk Triprasetya RRI Surabaya mengatakan bahwa istilah Ludruk berasal dari kata gela-gelo dan gedrak-gedruk Lo Drug. Gela gelo artinya geleng-geleng, gedrag-gedrug artinya menghentak lantai. Kedua gerakan ini geleng-geleng dan gedrak–gedruk adalah gerakan yang menjadi ciri khas penari ngremo dan juga para pemain ludruk lainnya ketika masuk ke pentas pertunjukan. Menurut Dukut Imam Widodo dalam bukunya, Soerabaia Tempo Doeloe, istilah Ludruk berasal dari bahasa Belanda. Leuk en druk,” yang artinya yang penting enjoy, happy. Kata-kata tersebut diucapkan oleh anak-anak muda Belanda yang suka bersenang-senang nonton kesenian Ludruk pada masa itu. Sedangkan menurut Cak Kibat, tokoh Ludruk Besutan, istilah ludruk itu berasal dari kata molo-molo lan gedrak-gedruk. Artinya seorang pemain ludruk itu mulutnya bicara dengan kidungan dan kakinya menghentak lantai gedrak – gedruk. Dan masih banyak lagi versi lain mengenai asal-usul mengenai istilah Ludruk. Sejarah Kesenian Ludruk Sejarah seni tradisional Ludruk ini cukup panjang. Sejak awal kelahirannya di sekitar tahun 1900an sampai jaman Orde Baru, Ludruk tetap eksis dan telah mengalami banyak perubahan dalam penyajiannya. Berikut ini adalah periode perkembangan kesenian Ludruk dari awal kelahiran hingga masa Orde Baru Periode Lerok Lerok adalah cikal bakal kesenian Ludruk yang hidup pada tahun 1907 – 1915 di Jombang, Jawa Timur. Pelopornya adalah Pak Santik dari desa Ceweng, kecamatan Goda, kabupaten Jombang dan temannya, Pak Amir dari desa Lendi. Istilah Lerok berasal dari kata lorek yang artinya penuh coretan. Wajah pemain lerok penuh dengan coretan. Lerok disebut juga Kledek Lanang , yaitu seni pertunjukan yang mengutamakan nyanyi-nyanyian dalam bentuk kidung dan pantun parikan yang mempunyai tema sindiran. Lerok yang dipelopori oleh Pak Santik dan Pak Amir memulai karirnya dengan ngamen menggunakan peralatan kendang, berkeliling dari desa ke desa. Kemudian, agar pertunjukannya menarik dan lucu, Pak Santik mengajak Pak Pono untuk mengenakan busana wanita yang disebut wedokan, Jumlah pemain lerok yang tadinya dua kini menjadi tiga orang. Periode Besut Kesenian Ludruk Besut berkembang pada tahun 1915 – 1920-an dengan jumlah pemain yang telah menjadi empat, yaitu Pak Santik, Pak Amir, Pak Pono dan Marpuah. Pelaku utama selalu mengenakan kain panjang bebed putih yang menjadi lambang kesucian dan bertugas menyampaikan maksud. Pelaku utamanya disebut Besut. Inilah yang merubah sebutan Lerok menjadi Besut. Pementasan ludruk besutan diawali dengan upacara pembukan berupa saji-sajian atau persembahan atau penghormatan kepada empat penjuru mata angin. Setelah itu pertunjukan dimulai dengan menampilkan sebuah cerita yang dirangkai dalam bentuk sindiran, lawakan, kidungan dan pantun-pantun yang disusun dalam suatu kerangka cerita yang telah ditentukan dan tetap. Periode Lerok Besut Periode ini berlangsung tahun 1920–1930 dengan masih mempertahankan model besut. Setelah upacara persembahan, dilanjutkan dengan tarian yang bertujuan menghaturkan perasaan kepada Tuhan. Penarinya digambarkan sebagai seorang satria dengan gerakan yang bermacam macam sehingga disebut tari reno-reno. Penarinya menggunakan sampur dipundaknya, maka disebutlah penari ngremo . Seiring dengan perkembangan kesenian lerok di berbagai daerah, maka munculah versi tari remo Jombangan gaya Jombang dan tari remo Suroboyoan gaya Surabaya. Pada masa itu penari remo telah memiliki ciri khas tersendiri pada tata busananya. Biasanya mereka tampil menari dengan baju putih memakai topi hitam dan kadang-kadang memakai dasi hitam. Ciri lainnya adalah kaki kanan penari mengenakan Gongseng, gelang kaki yang mengeluarkan suara kencrang kencring sebagai pengatur irama gending, dan pada telinga kirinya dipasang anting-anting. Gerakan tariannya cukup menggerakan kepala bahasa Jawanya gela gelo dan gerakan kaki yang dinamis dihentak-hentakkan bahasa Jawanya gedrak-gedruk. Jadi, inti dari tarian remo ngremo adalah sirah gela gelo, sikil gedrak gedruk . Kepala geleng-geleng, kaki dihentakkan. Maka lahirlah lahirlah istilah Ludruk. Gela-gelo dan gedrak-gedruk Pementasan Ludruk Besutan terdiri dari tandhakan tarian, dagelan lawakan dan besutan. Dalam pementasannya belum menampilkan cerita secara utuh, melainkan dialog yang dikembangkan secara spontan. Sekitar tahun 1922-1930 dalam pementasan ludruk mulai dimasukkan cerita didalamnya. Ludruk yang memasukkan unsur cerita didalamnya disebut Ludruk Sandiwara Periode Lerok & Ludruk Periode ini berlangsung tahun 1930 – 1945 dengan bermunculannya kesenian ludruk diberbagai daerah di Jawa Timur. Nama lerok dan ludruk tetap berdampingan sampai tahun 1955, selanjutnya masyarakat menggunakan nama ludruk. Sekitar tahun 1933 Cak Durasim mendirikan Ludruk Oraganizatie LO. Ludruk ini terkenal dengan tembang Jula Juli-nya yang menentang pemerintahan Belanda dan Jepang. Pada masa penjajahan Jepang, ludruk berfungsi sebagai sarana perjuangan. Salah satu syair Jula-Julinya adalah seperti berikut Bekupon omahe doro, melok Nippon soyo soro Bekupon rumahnya burung dara, ikut Jepang tambah sengsara Gara-gara syair tersebut, Cak Durasim ditangkap oleh pemerintah Jepang, dimasukkan penjara hingga meninggal dunia. Periode setelah Proklamasi Periode ini berlangsung tahun 1945- 1965 dimana mulai muncul seniman urban dari desa pindah ke kota. Pelawak Astari Wibowo dan Samjudin mendirikan Ludruk Marhaen pada tanggal bulan Juni 1949. Setelah berdirinya Ludruk Marhaen di Surabaya, muncul perkumpulan ludruk lain, seperti ludruk Tresna Tunggal, Ludruk Sari Rukun, Ludruk Panca Bakti, Ludruk Marikaton, dll. Sekitar tahun 1960an ada beberapa kelompok Ludruk yang dijadikan alat oleh PKI untuk menggalang massa. PKI memanfaatkan ludruk untuk menanamkan pengaruhnya di masyarakat. Periode Orde Baru Antara tahun 1965-1968 terjadi masa vakum bagi kesenian Ludruk karena ada beberapa grup Ludruk yang menjadi organisasi terlarang binaan PKI, yaitu Lekra Lembaga Kebudayaan Rakyat, membubarkan diri, sedangkan perkumpulan Ludruk yang tidak terlibat PKI tidak berani melakukan pementasan. Pada tahun 1967 Pemerintah Orde Baru berusaha membangkitkan kembali kesenian Ludruk. Perkumpulan ludruk yang telah diseleksi dari pengaruh Lekra dibina oleh KODAM Brawijaya Tahun 1968-1970 terjadi peleburan Ludruk yang dikoordinasi oleh KODAM Brawijaya. Perkumpulan Ludruk di berbagai daerah dibina oleh ABRI hingga tahun 1975. Pembinaan tersebut mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat Jawa Timur dan Indonesia bahwa ludruk adalah teater tradisional khas Jawa Timur yang harus dilestarikan kehadirannya. Ludruk, seni tradisi asli Jawa Timur, lepas segala kelebihan dan kekurangannya, mampu bertahan selama lebih dari 100 tahun sebagai ikon budaya bangsa, adalah sebuah prestasi yang luar biasa. Salut. Dua jempol buat ludruk. AY Referensi
Ludrukadalah kesenian drama tradisional dari Jawa Timur. Ludruk merupakan suatu drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang di gelarkan disebuah panggung dengan mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan dan lain sebagainya yang diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik.
Artikel ini membahas representasi budaya lokal dan kesenian tradisional Jawa Timur dalam novel Samaran dan buku puisi Ludruk Kedua karya Dadang Ari Murtono. Dengan menggunakan perspektif sosiologi sastra, artikel ini mengkaji hubungan Dadang Ari Murtono sebagai sastrawan dengan budaya lokal dan kesenian tradisional ludruk Jawa Timur. Kehidupan dan proses kreatif Murtono dipengaruhi oleh persinggungannya dengan khazanah kesenian ludruk. Novel Samaran dan buku puisi Ludruk Kedua menarasikan kehidupan para seniman dan penikmat kesenian ludruk dan dimanika yang mereka alami serta relasi-relasinya dengan masyarakat. Samaran bagi saya memiliki benang merah dengan Ludruk Kedua. Konstruksi yang dibangun Dadang Ari Murtono tentang kesenian ludruk menghasilkan pemaknaan yang kaya dengan sudut pandang beragam tentang seni budaya tradisional ludruk. Selama ini, kita hanya sering menyaksikan ludruk dari pentas langsung dan rekaman audio visual. Melalui novel Samaran dan buku puisi Ludruk Kedua, kita mendapatkan sajian menarik tentang bagaimana budaya lokal dan kesenian tradisional membentuk sebuah fenomena kehidupan. Ternyata, dalam karya sastra yang ditulis Murtono, sebuah kesenian tradisional bisa memengaruhi kehidupan masyarakat dan sebaliknya, kehidupan masyarakat bisa memengaruhi kesenian tradisional. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Zuhkhriyan Zakaria Musafir Isfanhari Yusri Fajar Arung Wardhana Ellhafifie Suripno WulansaryDewan Kesenian Jawa Timur2020KRITIKSENI iiPenanggung Jawab Eko SuwargonoPresidium k Hidayat, SukrasmonoArim Kamandaka Suwargono, Luhur Kayungga Fuad Dwiyono, Muhlas, Commitee Chrisman HadiNassar Al BataiAgung WHSSupriyadiDesain grafi s Alek SubairiProduksi S. JaiAbdul MalikCetakan pertama Desember 2020ISBN 978-602-6632-08-1PenerbitDewan Kesenian Jawa 85 Surabaya 60275Phone 031-52402399e-maildk_jaim dkjaimKRITIK SENIPenulis Arung Wardhana Ellhafi fi e, Musafi r Isfanhari, Suripno, Wulansary, Yusri Fajar, Zuhkhriyan Zakaria Ukuan buku 16 x 24Jumlah Halaman vi + 326 viKATA PENGANTAR .................................................................................iiiZuhkhriyan Zakaria................................................................................. 1MAL/JUMau tapi Malu untuk Maju, Belajar dari Cerita Gandheng Renteng dan PamafestYusri Fajar ............................................................................................. 41BUDAYA LOKAL DAN KESENIAN TRADISIONAL JAWA TIMURDALAM NOVEL SAMARAN DAN ANTOLOGI PUISI LUDRUK KEDUAMusafi r Isfanhari ................................................................................ 105MEMILIH ANTARA RAWON ATAU SOTOSebuah Catatan untuk Lomba Cipta Lagu Populer Daerah DKJT 2020Arung Wardhana Ellhafi fi e ................................................................ 121ES BATU DALAM KULKAS, MAU DIANGKAT ATAU TIDAK? Teater Exit Dan Pintu Rencana bagi Wabah Suripno ................................................................................................ 227TARI-TARIAN SAKRAL DAN KONTEMPORER JAWA TIMUREvaluasi Bagi Insan Seni Tari Pada Festival Tari Upcara Adat Jawa Timur 2020Wulansary ........................................................................................... 277JEJAK KARYA FILM JAWA TIMURBIODATA PENULIS .............................................................................. 322Daftar Isi 41DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020BUDAYA LOKAL DAN KESENIAN TRADISIONAL JAWA TIMURDALAM NOVEL SAMARAN DAN ANTOLOGI PUISI LUDRUK KEDUAYusri Fajar 42 KRITIK SENIBersiap menonton ludrukadalah bersiap berseiasebab malam mempunyai bujuknyasendiri dalam kantuk, nyamuk, hantuperokok tanpa kepala, dan ancamanpencopet yang keras kepaladan hanya dia yang memiliki hai teguhakan bersungguh tetap dudukberkemul sarung di depan panggungDadang Ari Murtono, 201620Sastra dan seni budaya lokal ibarat pasangan hidup yang tak terpisahkan. Sejak lama fenomena seni budaya lokal dalam masyarakat menginspirasi para sastrawan untuk menciptakan karya sastra, baik sebagai kriik maupun legiimasi atas seni budaya lokal yang eksis. Para sastrawan merespons dan mengangkat fenomena seni budaya lokal yang hidup di sekitar kehidupan mereka karena seni budaya lokal itu memengaruhi pikiran, kehidupan, bahkan konstruksi idenitas mereka. Kita melihat para sastrawan dari wilayah kebudayaan Osing1 mengangkat dinamika seni budaya di bumi Blambangan. Beberapa sastrawan asal Madura menarasikan lokalitas dan budaya Madura2. 1 Komunitas Osing menghuni wilayah Kabupaten Banyuwangi, terutama di wilayah kecamatan yang dekat dengan Bali. Komunitas ini memiliki budaya Osing yang merupakan hasil sentuh budaya Jawa dan budaya Bali. Budaya osing memiliki simbol budaya, salah satunya adalah tari Gandrung Sutarto, 200416 Unsur bahasa Osing juga turut mengonstruksi budaya Osing. Sastrawan Hasnan Singodimayan menulis novel bertajuk Kerundung Santet Gandrung yang kental sekali muatan budaya osingnya. 2 Pandangan hidup orang Madura tak bisa dilepaskan dari nilai-nilai agama Islam yang dianut. Figur-fi gur pening yang dihormai dalam masyarakat Madura adalah bhuppa’ bhabbu’ orang tua, ghuru ulama/kiai yang dianggap sebagai panutan dalam hal akhirat, dan fi gur rato pemimpin formal dalam birokasi yang terkait dengan kehidupan duniawi. Wiyata, 2008 1-20. Sebagai contoh,penghormatan orang Madura pada sosok orang tua bisa kita lihat dari penyair Zawawi Imron yang begitu mengagungkan seorang ibu dalam puisinya yang bertajuk “Ibu” 43DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020Sementara, sastrawan yang hidup di tengah budaya Arek3 mengangkat khazanah seni budaya yang hidup dan berkembang di dalamnya. Di Jawa Timur para sastrawan generasi terdahulu seperi Zawawi Imron dari Madura, Hasnan Singodimayan dan Fatah Yasin dari Banyuwangi menulis karya-karya sastra yang menggambarkan fenomena seni budaya di daerah mereka. Dalam perkembangan kesusastraaan mutakhir, kita bertanya apakah sastrawan generasi mutakhir Jawa Timur ada yang tertarik menyuntuki dan mengangkat seni budaya lokal dalam karya-karya menemukan beberapa sastrawan generasi mutakhir asal Jawa Timur yang menulis karya sastra yang di dalamnya menggambarkan dinamika budaya lokal dan kesenian lokal di Jawa Timur. Perhaian saya terpusat pada pada generasi sastrawan mutakhir asal Jaim yang pada tahun 2015-2020 mewarnai jagat sastra nasional melalui karya-karya mereka yang mendapatkan pengakuan dan apresiasi. Kita sebut di antara mereka seperi Dadang Ari Murtono, Royyan Julian, dan Muna Masyari. Murtono dan Julian dikenal sebagai sastrawan yang menulis prosa dan juga puisi. Sementara, Muna Masyari lebih dikenal sebagai cerpenis. Keiga sastrawan ini saya sebut karena karya-karya mereka mendapat apresiasi. Dadang Ari Murtono beberapa kali mendapatkan penghargaan di ajang sastra ingkat regional dan nasional. Royyan Julian melalui karyanya yang bertajuk Tandak pernah menyabet penghargaan lomba buku kumcer dari Dewan Kesenian Jawa Timur 2015. Sementara Muna Masyari pernah mendapatkan tempat terhormat dan bergengsi karena cerpennya menjadi cerpen terbaik pilihan Kompas 2017. Meskipun hidup di era global dan milenial, mereka ternyata memiliki ketertarikan untuk mengangkat budaya lokal, dan kesenian tradisional4, yang tumbuh di Jawa Timur, dalam karya sastra mereka. Bagi saya, pilihan mereka itu menarik karena melalui karya-karya 3 Budaya arek idenik dengan semangat juang inggi, keterbukaan dan kecepa-tan beradaptasi. Orang-orang dari budaya arek memiliki jiwa nekat bondo nekat yang kuat Sutarto, 2004144 Contoh kesenian seni pertunjukan tradisional adalah ludruk, janger, kentrung, wayang wong dan damarwulan lihat Ayu Sutarto, 2004. 44 KRITIK SENIsastra yang mereka tulis, idenitas budaya Jawa Timur dikontruksi dengan cara berbeda yaitu melalui narasi dan puiika karya sastra. Idenitas kultural Jawa Timur dengan demikian idak dikonstruksi melalui kegiatan seremonial kebudayaan dan berbagai fesival dan pagelaran seni yang sering terasa sebagai ruinitas. Di antara karya-karya keiga sastrawan di atas, saat ini saya ingin fokus menelaah karya-karya Dadang Ari Murtono karena sastrawan yang lahir di Mojoketo itu melahirkan dua buah karya yang di dalamnya menggambarkan budaya lokal dan kesenian tradisional ludruk5. Dua karya ini menarik perhaian saya karena memiliki benang merah tentang dinamika kesenian ludruk yang menjadi ikon seni Jawa Timur. Novelnya yang bertajuk Samaran, diterbitkan Mojok tahun 2018, dan buku puisinya, berjudul Ludruk Kedua, diterbitkan Basabasi pada tahun 2016, menunjukkan sejarah ludruk dan bagaimana kesenian yang lahir di tengah komunitas budaya arek itu berkembang dan berdinamika dalam masyarakat. Di tengah makin minimnya pewaris akif dan pasif budaya lokal dan kesenian lokal di kalangan generasi muda, Dadang Ari Murtono menawarkan karya sastra yang menunjukkan bagaimana budaya lokal dan kesenian tradisional dipandang dan dinarasikan dalam kacamata karya sastra. Untuk menelusuri relasi Dadang Ari Murtono di bagian berikutnya saya akan menyebut nama akhirnya saja yaitu Murtono dan dunia ludruk, saya ingin menggunakan pendekatan sosiologi sastra yang terfokus pada konteks sosial pengarang. Konteks sosial pengarang ini menurut Sapardi Djoko Damono, yang menggunakan konsep dari Ian Watt, berkaitan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan faktor-faktor sosial yang bisa memengaruhi sastrawan sebagai individu 5 Peacock dalam bukunya Ritus Modernisasi Aspek Sosial dan Simbolik Teater Rakyat Indonesia menyebut ludruk sebagai bagian dari drama atau teater di Jawa. Peacock secara khusus juga menyebut ludruk sebagai drama masyarakat bawah, yang populer di Jawa Timur. Terkait dengan ciri khas kesenian ludruk yang dibandingkan dengan seni wayang orang, bahasa dalam ludruk dinilai lebih kasar. Sementara bahasa dalam wayang lebih halus 2005 Bahasa kasar dalam ludruk ini seringkali dikaitkan dengan budaya arek yang wilayahnya idenic dengan tempat muncul dan berkembangnya ludruk, seperi wilayah Jombang, Mojokerto, dan Surabaya. 45DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020disamping memengaruhi isi karya sastranya sebagaimana dikuip Faruk, 20105. Proses kreaif Murtono dalam menulis tema kesenian tradisional ludruk dan relasinya dengan kesenian ludruk dan para pelakunya bisa kita lacak melalui kata pengantar yang dia tulis untuk buku Ludruk Kedua dan pada perubahan sikap serta pandangannya tentang ludruk. Dadang Ari Murtono adalah generasi yang mengaku awam akan ludruk, meskipun dia lahir dan dibesarkan di Mojokerto, sebuah wilayah yang dikenal memiliki kelompok kesenian ludruk seperi Karya Budaya pimpinan Edy Karya. Murtono menulis dalam kata pengantarnya tersebutOrang-orang tahu bahwa sesuatu bernama ludruk itu ada, namu n tak banyak yang bisa menceritakannya selain nama-nama pelawaknya. Saya lebih parah dari itu. Saya hanya tahu kata ludruk meski di kampung tempat inggal saya, beberapa kali digelar pentas ludruk. Saya kadang terjebak pada pandangan bahwa ludruk itu ndeso dan idak menarik. Saya bahkan tak tertarik menonton sesi lawakannya, dan tak tahu nama pelawak-pelawaknya, bahkan yang paling terkenal sekalipun. Murtono, 20169Pernyataan Murtono di atas menunjukkan posisi sosialnya di tengah masyarakat yang di dalamnya terdapat kesenian ludruk. Relasi sosial antara Murtono dan ludruk terlihat berjarak. Bagi Murtono, ludruk bukanlah kesenian yang membuatnya terpesona dan kemudian larut di dalamnya. Bahkan dia memiliki anggapan yang negaif tentang kesenian ludruk Jawa Timur yang di zaman penjajahan dipopulerkan oleh tokohnya yang bernama Durasim. Kata ndeso yang disampaikan Murtono mengindikasikan pandangannya tentang ludruk sebagai kesenian yang jauh dari tuntutan modernisasi zaman dan kontradikif dengan budaya perkotaan yang dikonsumsi secara dominan oleh anak-anak milenial. Bahkan, sesi lawakan ludruk yang biasanya begitu digandrungi penonton karena sesi tersebut begitu menghibur tak membuat Murtono tertarik. Kesan dan sikap Murtono, saya pikir juga mewakili sebagian besar anak muda yang tak akrab dengan ludruk. Di balik tulisan pengantar itu, Murtono menunjukkan ironi sekaligus 46 KRITIK SENIkriik untuk dirinya sendiri. Dia hidup di tengah habitus ludruk namun dia justru berjarak dan cenderung meliyankan’ ludruk. Perasaan terasing Murtono terhadap ludruk lebih jauh dia tuangkan dalam puisinya yang berjudul Dunia yang Dilupakan. Dalam puisi ini Murtono menggunakan kata gani kami’ untuk merepresentasikan kelompok generasi yang merasa asing dengan kesenian ludruk. Kesenian tradisional Jawa Timur ini bahkan dalam pandangan Murtono menjadi kesenian yang terlupakanKami lahir di sekitar panggungdan tumbuh menjadi lelaki tanggungsegalanya, awalnyaseperi sekedar begitu sajahingga suatu malam, di sebuah tonil teropandengan kami semuanya datang berhadap-harapandan satu sama lain terasa begitu asingMurtono, 201617Hal ironis yang dituangkan Murtono dalam penggalan puisi di atas adalah adanya sekelompok generasi yang secara sosiologis sebenarnya lahir tak jauh dari dunia panggung ludruk namun sayangnya mereka tak mengenal ludruk. Keterasingan muncul keika generasi tersebut mulai secara langsung menyaksikan ludruk. Karena sebelumnya idak pernah tahu dan srawung’ dengan ludruk, akibatnya mereka mengalami kegagapan budaya terhadap ludruk. Menariknya, Murtono juga menggambarkan bahwa keterasingan itu idak melanda satu pihak saja yaitu kelompok generasi yang tak akrab dengan ludruk itu. Ludruk juga merasa terasing dengan kehadiran para generasi itu karena mereka sebelumnya belum pernah hadir dan muncul di depan 47DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020panggung. Kesenian tradisional dan penontonnya merupakan dua enitas yang saling membutuhkan. Seni ludruk tanpa penonton akan kehilangan subtansinya sebagai seni pertunjukan yang dipentaskan di depan publik. Sementara, penonton yang menyukai ludruk atau baru sekedar ingin mengetahui ludruk dengan menontonnya akan kecewa dan merasa kehilangan jika ludruk tak lagi menggelar pertunjukan. Pandangan Murtono tentang ludruk berubah saat dia membaca buku Ludruk Karya Budaya Mbeber Urip yang ditulis oleh Eko Edy Susanto atau lebih dikenal dengan nama Edy Karya. Setelah membaca buku tersebut, Dadang merasa mendapatkan pencerahan. Sebagai sebuah kesenian tradisional, James L. Peacock 2005 menyebut ludruk sebagai teater rakyat, ludruk memiliki berbagai sisi menarik untuk dikaji mulai dari aspek pertunjukan hingga berbagai relasi sosial dan representasi budaya yang ada di dalamnya. Buku karya Eko Edy Susanto yang dibaca Murtono berisi seluk beluk ludruk, terutama ludruk Karya Budaya, yang dipimpin Edy Karya. Dalam buku ini Besir Edy Karya mengungkapkan pengalamannya selama memimpin ludruk. Edy Karya juga berusaha menyelami kondisi bain dan kehidupan para pelaku ludruk yang menjadi anggota ludruknya. Dalam narasi-narasi pengalaman inilah kita bisa melihat perjuangan seorang Besir dan juga para pelaku ludruk dalam mempertahankan dan melestarikan ludruk. Persinggungan dan relasi Murtono dengan ludruk yang makin intensif ternyata benar-benar mengubah pandangannya terhadap ludruk. Kesan yang didapatkan Murtono terhadap ludruk setelah dia berusaha mengenalinya dengan cara menonton dan mengobservasi dari dekat, tampak misalnya dalam puisinya yang berjudul Datang ke Krobong Ludruk di bawah ini. Kita sebenarnya idak bisa mengklaim bahwa persona aku’ dalam puisi tersebut adalah Dadang Ari Murtono. Namun, saya menghubungkan persona itu dengan Murtono karena di kata pengantarnya Murtono memberikan pengakuan terkait kesan dan posisi awalnya terhadap ludruk. Mari kita cermai puisinya 48 KRITIK SENIDatang ke krobong ludrukKukira bahasa orang rendah yang bakal kulurukBahasa orang tak makan bangku sekolahBahasa terlalu murah bahkan untuk puisi yang marahTapi di siniSegala prasangka yang terburuBakalan diburu keliru“Bahkan yang diucapkan sekali punYang konon akan segera dibawa anginaMenyimpan derauDan bisikan paling halusAdalah teriakan teramat bising,”Di siniSeiap orang tahuBahwa seiap kata yang lahirMeminta jaminan nyawa“seperi durasim,”Murtono, 201685Dalam penggalan puisi di atas, persona aku yang datang ke krobong ludruk dan membawa prasangka negaif tentang ludruk akhirnya menyadari bahwa prasangkanya idak benar dan idak berdasar. Krobong yang persona aku’ datangi merupakan ruang simbolis yang menjadi pintu dan jendela untuk mengenali apa yang sebenarnya ada di dalam ludruk, mulai para pelaku dan berbagai kreasi serta pemikiran di dalamnya. Penilaian miring yang persona aku’ sebelumnya berikan pada ludruk akhirnya berubah karena kenyataannya, ludruk 49DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020justru berisi berbagai hal penuh makna dan memiliki bobot serta manfaat. Pementasan ludruk yang mengusung lakon tertentu dan juga menyajikan berbagai unsur seni di dalamnya seperi kidungan memiliki berbagai muatan yang merepresentasikan berbagai fenomena sosial budaya dan poliik yang terjadi dalam masyarakat. Jika kita mencermai berbagai naskah lakon ludruk, kita akan menemukan semangat nasionalisme, perlawanan terhadap dominasi kelas, dan berbagai gambaran kepahlawanan yang memberikan pencerahan dan kesadaran. Sebagai sastrawan yang mengaku berjarak dan tak akrab dengan ludruk, Murtono kemudian menyatakan bahwa “Saya merasa, bahwa seiap kali menonton lalu menulis puisi tentang ludruk, saya sedang menulis ludruk kedua. 201612. Pernyataan ini tampaknya berkaitan dengan puisi tentang ludruk yang dia tulis idak merepresentasikan ludruk sebagaimana yang tergambar di atas panggung. Hal ini menurut saya justru yang menarik lebih jauh untuk dikaji karena karya sastra yang Murtono tulis berari menjadi medium atau merupakan hasil proses kreaif yang berusaha memaknai, mengarikulasikan, dan merespons ludruk dengan sudut dan cara pandang yang bisa saja berbeda. Interpretasi dan tanggapan Murtono atas ludruk yang ditontonnya bisa saja berbeda dengan tafsiran orang lain, bahkan para pelaku ludruk itu sendiri. Distorsi bisa saja disebabkan pemahaman yang masih belum sesuai atas subtansi dari apa yang terlihat. Dalam puisi yang bertajuk Menonton Ludruk dari Balik Jendela Sewaktu Gerimis kita akan makin mengeri dan merasakan bagaimana aku liris di dalam puisi itu menyampaikan keberjarakan dan keidaktuntasannya pada ludrukKupaksa bermuka-muka dengan ludruk, bagianSemesta bunda budayaku dank au berkata bahwa aku tak pernah benar-benar bersua dengannya 50 KRITIK SENI“Kau menulis kakawin, sedang ludruk hanya diuntuki parikan, kidungan”“tapi aku berbicara perihal sarip, dan segala yang hanya ada dalamLudruk, dalam cerminan hidup abangan pinggiran”Sekian paragraph kemudianDalam kelirisan yang tak ada, tak pernah adadi atas panggung teropan dan tobongan,aku mengeri apa yang dulu kau katakanamenonton ludruk dari balik jendela sewaktu gerimisKulitku tak menyerap dingin arena tanggapan,Mataku tak melihat lakon dihidupkanTelingaku tuli para voor, pada bahasaYang menjaga mereka berjalanDan kalimatku gagap menangkap tawa,Memerangkap banyolan trubus dan supaliAku berada pada jarak yang gagal, senaniasaGagal kutempuhiAdakah penyair sedurhaka aku,Adakah hakku untuk berkelit saat bahasaHendak melunasi segala kesakitan yangKuimpakan kepadanya?Murtono, 2018 101-102Murtono menyadari potensi adanya jarak dan keidaktuntasan pemaknaan serta keidaktepatan pemahaman atas ludruk yang dia tonton. Hal ini menurut saya wajar karena seiap penonton sebuah seni pertunjukan, apalagi yang baru mengenal dan mempelajari seni tersebut, 51DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020pasi akan mengalami kegagapan’ dan melakukan adaptasi’. Murtono pada konteks ini juga bukan penelii seni pertunjukan yang memiliki kewajiban memaparkan hasil peneliian dengan metode peneliian ilmiah. Murtono adalah sastrawan yang mentransformasikan ludruk ke dalam imaji dan narasi kreaifnya. Memahami pernyataan Murtono dalam pengantar buku puisi Ludruk Kedua, saya berpandangan bahwa Murtono tengah belajar memahami ludruk melalui karya sastra yang ditulisnya. Sebagai sebuah proses belajar dan melihat ludruk bukan sebagai ahli ludruk, respons dan penggambaran atas ludruk yang dilakukan Murtono melalui karya sastranya berpotensi melahirkan perbedaan dari ludruk sebagaimana yang ditampilkan dalam pertunjukan di atas panggung. Melalui Samaran dan Ludruk Kedua kita akan menonton dan melihat ludruk idak dari kursi penonton dalam pertunjukan langsung, namun melalui narasi prosaik dan puiik yang berpotensi dipenuhi distorsi atas realitas yang biasa ditemukan dalam panggung ludruk dan dalam kehidupan para pelaku ludruk di luar panggung. Selain fokus pada hal ihwal ludruk seperi dalam puisi Ludruk Kedua, narasi historis dan budaya yang Murtono angkat dalam karya sastranya terkait dengan Majapahit dan berbagai konstruksi idenitas budaya lokal yang melingkupinya juga tergambar dalam novel Samaran. Dalam novel Samaran, kita akan menemukan berbagai gambaran tentang hal-hal misis, sejarah, relasi sebuah masyarakat dengan eksistensi kerajaan Majapahit, dan bagaimana masyarakat itu bersentuhan dengan kesenian tradisional ludruk. Benang merah dan koninyuitas karya Dadang Ari Murtono, tahun 2016 menulis Ludruk kedua dan tahun 2018 meluncurkan novel Samaran, dalam mengangkat budaya lokal dan kesenian ludruk membuat saya tertarik untuk melakukan pembacaan lebih jauh atas dua karya sastra tersebut. Melalui tulisan ini, saya ingin menggambarkan bagaimana Dadang Ari Murtono menarasikan dan mengonstruksi budaya lokal dan kesenian ludruk melalui Samaran dan Ludruk Kedua. 52 KRITIK SENILokalitas dan Budaya LokalKampung Samaran yang diciptakan Murtono dalam novel Samaran merupakan enitas ruang lokal yang secara historis terhubung dengan kerajaan Majapahit yang berlokasi di Jawa Timur. Samaran didirikan oleh tokoh bernama Widhe, mantan pengikut Prabu Brawijaya6, raja Majapahit. Konstruksi sejarah kampung ini membawa imaji kita jauh ke belakang keika Jawa Timur memiliki kerajaan yang begitu kuat dan berpengaruh. Secara kultural, masyarakat Samaran percaya terhadap hal-hal misis, seperi kutukan, dan eksistensi berbagai mahkluk halus seperi danyang yang hidup atau menunggu alam di sekitar wilayah itu. Soal kutukan yang dipercaya masyarakat yang hidup di era kerajaan terdahulu memiliki rujukan dalam kitab-kitab tua. Banyak orang memiliki anggapan bahwa jika seseorang dikutuk, maka dia tengah menerima hukuman atas kesalahannya. Prakik kutukan itu bisa kisahnya bisa dijumpai misalnya dalam kitab parwa pertama Mahabharata. Sebagai contoh, kitab Maharaja Santanu dan Adiparwa menceritakan raja Mahabima kembali ke surga. Mahabima kemudian harus menerima kutukan dari dewa Brahma karena Mahabima berbuat hal idak senonoh yaitu memandang beis Dewi Gangga. Akibatnya Mahabima harus kembali terjun ke bumi Mastui, 2005. Kutukan sebagai hukuman seringkali tak bisa dipahami secara logika. Ilmu pengetahuan yang bertumpu pada peneliian melalui eksperimen atau pembukian ilmiah idak akan bisa menjelaskannya karena proses terjadinya kutukan tak bisa diceritakan tahapannya secara ilmiah. Kekuatan supranatural berada di belakang proses terjadinya kutukan. Prasasi Tuhannaru menjadi artefak yang meninggalkan kesaksian atas kutukan yang terjadi di era majapahit. Prasastri lainnya yang juga menyebutkan kutukan pada manusia adalah Cangu, Kudadu, dan Waringin Pitu. Kutukan-kutukan yang menakutkan merupakan kepanjangan tangan dari para dewa. Vererdonk menyatakan bahwa 6 Raja Brawijaya adalah raja Majapahit yang pertama. Dia dikenal juga sebagai Nararya Sanggramawijaya, yang biasa disingkat Wijaya. Sebutan lain yang lebih populer adalah Raden Wijaya. Dalam Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, sang raja pertama majapahit itu disebut Brawijaya Muljana, 20051 53DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020mereka yang mendapatkan kutukan, sebagaimana digambarkan dalam prasastri Tuhannaru, akan meninggal dunia dalam kondisi mengenaskan dan menyakitkan 2001. Dalam konteks kekuasaan di era Majapahit, kutukan merepresentasikan cara penguasa Majapahit dalam mengontrol dan mengendalikan rakyatnya. Tentu saja para penduduk takut akan dikutuk jika idak tunduk pada perintah dan kepeningan elit kerajaan. Bayangan kutukan yang begitu menghantui masyarakat Samaran digambarkan oleh Dadang Ari Murtono melalui sosok tokoh seperi Yai Gendut yang muncul sejak awal novel Samaran. Bayang-bayang kutukan di Kampung Samaran dan dampaknya dalam membentuk relasi sosial dan kondisi psikologis masyarakat Samaran serta kehidupan masyarakat Samaran yang terasing dari dunia luar memberikan pengaruh pada cara pandang dan tanggapan mereka terhadap kesenian tradisional ludruk yang masuk dan menggelar pentas di Samaran. Pengaruh dan kepercayaan terhadap kutukan yang bisa terjadi karena kekuatan supranatural di luar diri manusia ini diperkuat oleh Murtono melalui deskripsi dunia-dunia yang saling berkelindan, yaitu dunia yang ditempai manusia dan alam lain yang ditempai oleh para makhluk gaib. Kutukan yang menghantui warga tersebut direspons warga dengan menjalankan prakik-prakik kultural agar tak mereka terlepas dari kutukan yang menakutkan. Namun, kepercayaan dan ketakutan pada kutukan telah membuat para warga Samaran hidup dalam kecemasan dan ketakutan. Hidup mereka terus dihantui rasa takut akan kedatangan kutukan sehingga mereka idak tenang. Tokoh Yai Gendut menyampaikan bahwa tanda kutukan yang akan datang itu mirip dengan bau amis ikan yang telah mai dan bercampur dengan bau karat besi serta bau bunga kenanga yang bercampur bunga mawar Murtono, 20187. Menariknya, Dadang Ari Murtono menghubungkan fenomena itu pada masa silam yang dialami oleh Widie pendiri kampung Samaran. Bau yang dihirup oleh Yai Gendut itu, sebagaimana diceritakan Dadang, seperi bau yang dihidup oleh Widie keika dia hendak meninggalkan kerajaan Majapahit. 54 KRITIK SENIMurtono menggambarkan kampung Samaran sebagai wilayah dengan dinamika kehidupan kompleks. Manusia-manusia yang hidup didalamnya melakukan indakan khianat, balas dendam, perselingkungan dan upaya-upaya perebutan pengaruh dan kekuasaan. Berbagai fenomena misis dan magis datang silih bergani di wilayah yang kemudian oleh Murtono diceritakan menjadi persinggahan kelompok kesenian ludruk yang mendirikan tobong dan bermain di dalamnya. Penguasa pening dalam wilayah kampung Samaran idak hanya terletak pada kepala kampung dan dukun, namun pada makhluk gaib yang menjadi penentu nasib dan kehidupan seseorang. Di hadapan mereka, para penduduk idak berdaya. Kepala kampung dan dukun sama-sama memiliki nafsu untuk berkuasa, menancapkan tangan dan pengaruh superior mereka di hadapan penduduk. Dalam kaitannya dengan kesenian ludruk, kita bisa melihat bagaimana Kepala Kampung, yang memimpin kampung Samaran yang terpencil dan jauh dari peradaban modern, menanggapi kehadiran ludruk dengan rasa curiga dan khawa budaya lokal yang mencuat keika ludruk dimainkan di Samaran adalah kebiasaan masyarakat Samaran yang menggunakan alat tukar bukan uang dalam transaksi. Mereka masih menggunakan alat tukar hasil-hasil bumi seperi beras, madu dan berbagai hasil pertanian dan peternakan lainnya. Model alat tukar yang diprakikkan masyarakat zaman dulu itu, membuat masyarakat lain, seperi kelompok ludruk kaget dan tak menduga bahwa mereka akan dibayar dengan hasil bumi. Kehadiran dan Tanggapan Kesenian LudrukDalam novel Samaran kita akan mendapatkan gambaran kelompok kesenian ludruk datang di sebuah kampung bernama Samaran untuk pertama kali dan mendapatkan tanggapan dinamis dari para penduduk Samaran. Penduduk Samaran yang sebelumnya 55DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020idak pernah mengetahui dan menonton pertunjukan ludruk pada awalnya memandang ludruk dan pelakunya sebagai fenomena yang aneh. Rombongan ludruk yang memasuki Samaran digambarkan Murtono sebagai sebuah kelompok kesenian yang membawa berbagai peralatan, perlengkapan, dan para pemain dengan dipimpin seorang besirMereka, dengan cara yang nyaris tak masuk akal, membawa barang-barang yang luar biasa banyaknya, melipui dua belas lembar anyaman bambu lebar, dua puluh bilah papan kayu, lonjoran-lonjoran bamboo utuh, aneka kain dengan berbagai ukuran, gambar, dan warna, seperangkat gamelan, dan tas-tas penuh kostum yang aneh-aneh. 201886 Masyarakat kampung Samaran yang belum pernah tahu ludruk pasi melihat keanehan pada rombongan kesenian ludruk tersebut di atas. Melihat berbagai perlengkapan yang dibawa, kita bisa membayangkan cukup banyak pelaku ludruk yang ikut dalam rombongan itu. Bagi yang pernah menonton ludruk mendirikan tobong di sebuah desa, seperi saya—keika saya masih kecil di sebuah desa terpencil di Banyuwangi Selatan, fenomena kehadiran kelompok kesenian ludruk bukanlah hal yang aneh. Kebetulan dulu di desa saya ada kelompok ludruk yang mendirikan tobong di lapangan desa tempat saya inggal sebagai ruang bermain ludruk dalam beberapa hari. Saya bisa memahami kehadiran mereka karena saya menonton pertunjukan mereka yang waktu itu menampilkan lakon yang begitu terkenal dalam ludruk yaitu Sarip Tambak Oso. Murtono menggambarkan para pelaku ludruk sebagai sekelompok orang asing 201885. Penggunaan isilah orang asing’ ini sebenarnya terkesan berlebihan karena para pelaku ludruk terutama yang berbasis di Jawa Timur pada dasarnya idak memiliki perbedaan secara ras, etnik dan latar budaya dengan para penduduk Samaran. Sebagai masyarakat yang secara generasi terkait dengan kebudayaan lokal Jawa yang 56 KRITIK SENIdipengaruhi budaya misis dan tradisional, seharusnya penduduk Samaran paling idak memiliki prakik budaya seperi bahasa yang sama. Bukinya penduduk Samaran bisa berkomunikasi dengan para pelaku ludruk yang iba di Samaran. Keasingan yang Murtono tekankan seperinya berkorelasi dengan keidaktahuan para penduduk Samaran terhadap ludruk sehingga mereka memiliki kecurigaan dan kekhawairan. Kepala kampung menyambut rombongan ludruk dengan dingin. Sikap dan sambutan warga dan juga kepala kampung Samaran ini mencerminkan realitas yang menunjukkan sebagian anggota masyarakat baik di Jawa Timur atau di Indonesia yang idak menyambut dengan baik kesenian ludruk. Dadang Ari Murtono, sebagaimana sudah saya singgung tulisan pengantarnya dalam buku puisi Ludruk Kedua, sempat memiliki sikap yang idak tertarik pada ludruk. Pandangan penuh kecurigaan dan kekhawairan orang Samaran pada ludruk tergambar dalam dialog antara Kepala Kampung Samaran dan pimpinan ludruk atau besir seperi kuipan di bawah ini“Apa tujuanmu datang ke Samaran?”“Saya ingin mendirikan tobong di sini. Sebulan saja.”“Tobong?”“Tobong. Tobong ludruk. Di lapangan sana.”“Aku idak mengeri apa yang kau maksudkan.”“Tidak mengeri? Bagaimana sampean idak mengeri?”“Aku idak mengeri apa itu tobong. Aku idak mengeri apa itu ludruk. Ininya, aku idak mengeri apakah yang akan kalian lakukan itu berbahaya atau idak bagi wargaku.”Murtono, 2018 86-87Isilah tobong idak diketahui oleh Kepala Kampung. Wajar jika percakapan antara Kepala Kampung dan besir ludruk di sana idak menghasilkan pemahaman. Alih-alih Kepala Kampung penasaran dan tertarik dengan tobong, dia justru curiga terhadap rombongan ludruk. Kepala Kampung mengira tobong bisa mendatangkan marabahaya bagi warga kampungnya. Kesalahpahaman yang terjadi ini seringkali 57DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020muncul karena masyarakat idak mengetahui secara persis bentuk dan tujuan kesenian tradisional seperi ludruk. Prasangka atas kesenian yang demikian bisa kontraprodukif dengan upaya untuk melestarikan kesenian tradisional yang bisa menjadi ikon daerah. Murtono menggambarkan masyarakat Samaran terisolir dan jauh dari peradaban “Letak Samaran begitu terpencil. Hanya ada satu jalan setapak menembus hutan lebat untuk menuju ke sana dari jalan kabupaten. Karena idak banyak orang asing yang mau repot-repot datang ke Samaran.” 2018 86. Keterpencilan Samaran menjadi sebab keterpencilan’ pengetahuan mereka tentang dunia luar, termasuk kesenian. Penetrasi kesenian ludruk ke Samaran bisa dipandang sebagai sebuah upaya menarik untuk menembus keterpencilan wilayah sekaligus keterpinggiran pengetahuan warga Samaran. Kelompok ludruk yang masuk Samaran bisa dipandang sebagai kelompok kesenian yang memiliki kreaifi tas dan persentuhan dengan teknologi modern. Hal ini misalnya bisa dilihat dari dokumentasi foto-foto pertunjukan yang mereka bawa dan tunjukkan pada Kepala Kampung Samaran. Dokumentasi melalui foto mengindikasikan sebuah upaya dokumentasi pertunjukan sekaligus perjalanan sebuah kelompok kesenian dengan manajemen yang mencerminkan aspek modern. Melalui narasi negosiasi kelompok ludruk dan masyarakat terpencil, yang secara metafora bisa dipandang sebagai objek pertunjukan seni yang berjarak, Murtono bagi saya sedang menggambarkan bagaimana sebuah kesenian tradisional yang kurang bahkan idak dikenal mensosialisasikan eksistensi dan karya mereka. Murtono juga sedang menceritakan bagaimana kelompok ludruk berjuang untuk hidup, dan terus mengenalkan karya-karya mereka kepada masyarakat. Faktanya, memang ada sebagian kelompok masyarakat yang idak menunjukkan simpai pada kesenian tradisional seperi ludruk. Kegigihan kelompok ludruk untuk bisa diterima di Kampung Samaran dan upaya mereka meyakinkan penduduk bahwa ludruk akan memberi kesenangan pada warga merupakan etos dan mental berkesenian yang harus dimiliki. 58 KRITIK SENIBesir ludruk, sebagaimana dikisahkan Murtono, mengatakan bahwa “Ludruk itu semacam hiburan” 201887. Pernyataan ini sesungguhnya ironis. Menganggap ludruk sebagai kesenian yang berfungsi hanya untuk menghibur berari menegasikan fungsi lain dari kesenian sebagai, misalnya, medium pendidikan. Kesenian selain sebagai tontonan juga dianggap memiliki muatan tuntunan. Anggapan kesenian ludruk sebatas menampilkan bentuk seni yang menghibur juga menegasikan berbagai cerita yang disajikan yang memiliki kandungan nilai-nilai seperi resistensi terhadap penjajahan, nasionalisme, seia kawan, dan sebagainya. Henricus Supriyanto, sebagaimana dikuip Ayu Sutarto, menyampaikan fungsi pening kesenian ludruk yaitu 1. Alat pendidikan masyarakat; 2. Media perjuangan; 3. Media kriik sosial; 4 Media pembangunan; 5. Media sponsor 200423. Fungsi-fungsi ini bisa dikaitkan dengan lakon-lakon pertunjukan ludruk yang menyisipkan pesan-pesan pening pada para penonton dan masyarakat. Fungsi-fungsi inilah yang belum dinyatakan dan ditunjukkan secara tebuka melalui pernyataan oleh pimpinan ludruk dalam novel Samaran. Dalam narasi tentang ludruk sebagai sebuah karya seni teater atau pertunjukan tradisional, Murtono juga menunjukkan bagaimana ludruk dipandang oleh pelaku ludruk sebagai medium berekspresi, bermain drama. Sementara Kepala Kampung yang merepresentasikan masyarakat menganggap seni ludruk termasuk pelakunya representasi kenyataan. Keika ludruk dipandang sebagai enitas seni, maka di dalamnya terdapat dramaisasi, acing yang dibuat-buat, dan berbagai unsur seni teater lainnya. Berbeda dengan pandangan tersebut, Kepala Kampung idak bisa memahami gambaran tokoh jahat yang disampaikan besir. Dia mengira pelaku ludruk yang dibawa adalah benar-benar orang jahat, padahal orang jahat’ yang dimaksudkan besir adalah tokoh yang harus dimainkan di atas panggung. Selain negosiasi awal tentang kesenian ludruk yang idak mudah dilakukan oleh besir, rombongan kesenian ludruk juga dihadapkan pada kondisi masyarakat yang masih cenderung teringgal dalam hal 59DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020sistem ekonomi. Sebelumnya, rombongan ludruk tersebut keika pentas bisa menjual karcis tanda masuk tobong dan nonton pertunjukan dengan menggunakan uang. Namun, di Samaran kebiasaan itu idak berlaku. Orang-orang di Samaran menggunakan alat tukar yang lain untuk mendapatkan karcis, yaitu hasil bumi pertanian seperi beras, binatang ternak, madu, kayu bakar dan sebagainya. Alat tukar ini menunjukkan pola kehidupan warga Samaran yang masih sangat tradisional. Melalui novel Samaran kita akan mengeri bagaimana beratnya kehidupan para pelaku kesenian tradisional, seperi ludruk, terutama dalam sebuah wilayah yang tak dapat memberikan pemasukan secara maksimal. Di kampung seperi Samaran, penghasilan dari menggelar pertunjukan ludruk tak bisa diharapkan. Penjaga loket tobong yang merupakan bagian anggota kesenian ludruk menyadari hal tersebut, sehingga dia merasakan betapa berat tanggung jawab seorang besir atau pimpinan ludrukDan seiap kali selesai menotal, ia bersyukur bahwa ia bukanlah Besir. Ia tak dapat membayangkan bagaimana beratnya tanggung jawab Besir yang dengan jumlah pemasukan sesedikit itu, mesi mengaturnya untuk makan dan honor seluruh anggota kelompok ludruk. Kesadaran itulah yang mendorongnya untuk idak mentolerir seiap penyelinap, lebih dari dorongan yang bersumber pada ancaman Besir. Murtono, 2018 94Minimnya pemasukan menjadi tantangan berat kelangsungan kesenian ludruk. Narasi yang dibangun Murtono tentang pilihan kelompok seni ludruk untuk bermain di sebuah desa terpencil menarik untuk dikaji lebih lanjut. Keputusan Murtono untuk menghadapkan kesenian ludruk pada tantangan di daerah terpencil dengan para penduduk yang awam terhadap ludruk mencerminkan strategi naraif untuk menggambarkan eksistensi ludruk yang makin terpinggirkan. Sayangnya, Murtono idak menjelaskan alasan kuat mengapa kelompok ludruk itu begitu berani mengambil resiko bermain di daerah terpencil yang penduduknya belum pernah mengenal ludruk sebelumnya. 60 KRITIK SENIPilihan tempat paling logis dan aman untuk menggelar pertunjukan sebenarnya di daerah yang secara kultural bisa mengapresiasi dan menerima kehadiran seni ludruk. Di suatu wilayah yang masyarakatnya menyukai ludruk, pagelaran ludruk pasi mendapat tanggapan baik. Dengan begitu pemasukan juga akan baik. Namun, keputusan pentas di Kampung Samaran bisa juga disebabkan karena kelompok ludruk tersebut kesulitan mencari tempat pentas karena sudah banyak tempat mereka kunjungi sehingga mereka mencari tempat lain demi untuk mencari pemasukan meskipun belum jelas dan belum menjanjikan. Terkait dengan perjuangan kelompok ludruk dalam mempertahankan hidup mereka, Peacock menggambarkan bahwa iket-iket karcis menonton ludruk dijual dengan harga murah, dengan kondisi teater dan kostum yang menyedihkan, sementara para aktornya dibayar murah. 200526. Penjualan iket pertunjukan ludruk yang murah bisa berkaitan dengan respons dan minat masyarakat terhadap ludruk serta kondisi ekonomi masyarakat yang sulit. Tiket bisa dijual murah dengan tujuan menarik perhaian penonton. Selain itu, iket yang terjangkau juga seringkali diperimbangkan karena daya beli masyarakat atas iket yang rendah karena ingkat penghasilan yang rendah. Di sebuah kampung seperi Samaran, kelompok ludruk tak mungkin menjual iket dengan harga mahal. Kelompok ludruk tersebut harus berjuang terlebih dahulu untuk membuat para penduduk tertarik menonton karena mereka belum pernah mengenal ludruk sebelumnya. Dalam buku Ludruk Kedua Murtono juga menggambarkan rencana perunjukan ludruk yang gagal karena idak ada penonton yang membeli karcis. Tiadanya penonton yang tertarik menyaksikan pentas ludruk merupakan bencana yang diratapi oleh para seniman ludruk yang tengah bersiap memainkan lakon. Begitulah suka duka kesenian tradisional ludruk. Dalam puisi bertajuk Perisiwa dalam Tobong kita bisa meresapi baris demi baris puisi yang mengungkapkan suasana sedih karena rencana pentas tak mendapat tanggapan penonton 61DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020Di atas panggung sepi mengurungSepasang kursi plasic dan sebuah meja kayu“padahal malam masih jam 9”Seperi ada yang berkataentah siapa, entah pada siapaidak aka nada lakon waktu itusebab tak satu pun iket lakuseorang panjak kepala batutelah meninggalkan tetabuhannyalalu diam membantu di balik bilik iba-iba,ia cemburu pada batu, ia ingin menjadi batu,dan tak perlu berpikir tentang ini atau itudi belakang panggung ada yang ingin menghibur dirimenyelimur dari nasib buruk“ini cinta,” ujar salah satu yang jelas-jelas laki-laki“ini dosa,”ujar yang lain yang laki-laki namun tak jelas-Jelas laki-lakiMurtono, 2018 23Melalui puisi di atas, Murtono menyajikan sebuah kondisi ludruk yang mengenaskan. Tak ada satu iket pun yang laku mengindikasikan kegagalan sebuah rencana pertunjukan dan menjadi tanda tak akan ada pemasukan. Murtono secara menarik menggambarkan bagaimana para anggota ludruk memberikan respons berbeda terkait pentas yang gagal tersebut. Di satu sisi ada anggota ludruk yang begitu meratapi kesedihannya, namun di sisi lain masih ada anggota ludruk yang berusaha menepis kesedihan itu dengan mencari kesenangan lain. 62 KRITIK SENITerkait dinamika pertunjukan ludruk, kita kembali dulu ke kisah ludruk dalam novel Samaran. Kampung Samaran bagi kesenian ludruk adalah cobaan sekaligus tantangan. Murtono seperi hendak menegaskan bahwa proses menghidupkan dan melestarikan ludruk dipenuhi jalan berliku. Perlu ketetapan hai dan keseiaan menjalani proses itu. Jika jalan berkesenian dan pelestariannya serta upaya terus mementaskan ludruk telah ditempuh dengan jalan berliku, maka harapannya tak mudah begitu saja untuk menyerah pada tantangan dan cobaan. Spirit dan etos berkesenian yang tercermin dari para tokoh ludruk yang diciptakan Murtono inilah yang saya temukan dalam novel Samaran. “Apa kita pergi saja dan mencari tempat yang lain, yang lebih baik?” seorang penanjak mengusulkan. Besir mengedarkan pandangannya. Ia tampak jadi jauh lebih tua dalam sehari ini. Tidak ada tanda-tanda ia akan menjawab usulan si panjak. Dan karenanya, seorang panjak lain berkata,”Kita telah menempuh perjalanan jauh. Ingat hutan-hutan itu. Ingat waktu Juminten terpeleset dan ia nyaris jatuh ke jurang seandainya ia gagal menjangkau akar beringin yang menyembul. Ingat pula bagaimana Sapar hampir digigit ular weling yang bersembunyi di balik taunan gugur. Ingat waktu kita bersusah payah melindungi tumpukan kelir sewaktu kita terjebak hujan deras dan lama. Ingat, ehm….apa ya….ingat banyak kesusahan menuju ke sini. Dan sekarang, setelah semua itu, kita pergi begitu saja?”Murtono, 2018 95Perjalanan jauh dalam kuipan di atas bisa dimaknai secara simbolik sebagai jalan panjang kesenian tradisional ludruk dalam mengarungi berbagai tantangan dan hambatan. Ular, alam dan juga cuaca bisa menjadi metafora dari ancaman yang muncul terhadap kesenian tradisional. Dalam perjalanan kesenian tradisional berbagai ancaman bisa menghadang mulai cibiran masyarakat, soal dana, publik penonton yang makin sedikit, dan kurangnya dukungan dari para pengambil kebijakan. Tanpa keseiaan dan determinasi para pelaku 63DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020ludruk untuk menghidupkan kesenian tradisional ludruk, kesenian yang menjadi ikon Jawa Timur itu terancam akan sebatas menjadi dan moivasi untuk mempertahankan dan tetap melestarikan ludruk terus digaungkan oleh Besir ludruk yang tak bosan menguip pernyataan dan pesan dari bapaknya. Nilai-nilai fi losofi s dari Cak Ban, Bapak dari Besir inilah yang selalu dikobarkan. “Cak Ban, bapakku, pendiri kelompok ludruk kita, pernah berkata kepadaku bahwa sebaik-baiknya prajurit adalah prajurit yang mai di medan pertempuran, sebaik-baiknya petani adalah petani yang mai di tengah sawah keika bekerja, dan sebaik-baiknya seniman ludruk adalah seniman ludruk yang mai di atas panggung atau di dalam tobongan. Murtono, 2018 118 Pernyataan di atas digaungkan kembali oleh Besir untuk menangkal turunnya semangat para pemain untuk mementaskan lakon di Samaran yang dipandang idak cocok sebagai lokasi pementasan ludruk. Semangat pantang menyerah ini tentu juga pening dimanifestasikan di tengah zaman global di mana masyarakat lebih menyenangi kesenian modern daripada tradisional. Kemauan untuk beradaptasi dengan kondisi dan budaya lokal masyarakat Kampung Samaran membuat ludruk lambat laun bisa diterima penduduk Samaran. Murtono menggambarkan bagaimana secara perlahan penduduk Samaran mulai akrab dan terbiasa bahkan tertarik untuk menonton ludruk. Narasi Murtono ini menegaskan bahwa kemampuan beradaptasi dan sikap pantang menyerah para pelaku kesenian tradisional menjadi kunci pening untuk membuat mereka bertahan. Pada pertunjukan perdana, mereka memainkan salah satu lakon babon dalam khazanah perludrukan, yaitu Sarip Tambak Oso. Dan segenap penduduk Samaran, bahkan si pemalas Marjiin, datang ke tobongan. Itu malam yang melelahkan bagi penjaga iket. Tumpukan karung beras melelahkan bagi penjaga iket. Tumpukan karung beras menggunung di samping tempat duduknya. Berbumbung- 64 KRITIK SENIbumbung bambu disandarkan ke tembok, bersebelahan dengan tumpukan karung beras. Buah-buahan yang beraneka jenis juga meminta pengaturan tempat. Murtono, 2018 97Pemasukan hasil pertanian sebagai barter iket menunjukkan apresiasi warga Samaran pada ludruk. Mereka rela menyisihkan hasil pertanian mereka agar bisa menonton pertunjukan ludruk. Penghasilan itu sebenarnya jika diuangkan akan memberikan penghidupan yang baik bagi para pelaku ludruk selama berada di Samaran. Mereka akhirnya telah menemukan arena baru untuk bermain dan sekaligus bermasyarakat. Dalam kuipan di atas, kita juga melihat cara kelompok ludruk dalam merebut kesan masyarakat terhadap pertunjukan, yaitu dengan mementaskan lakon Sarip Tambak Oso, sebuah lakon yang paling terkenal dalam pagelaran kesenian ludruk. Pentas ludruk pertama yang dimainkan oleh ludruk di Samaran, menghadapi tantangan. Bagian lawakan yang biasanya mendapatkan sambutan meriah justru menjadi bagian yang terasa menegangkan karena penonton, warga samaran, tak menyambut para pelawak dengan gelak tawa. Di bagian ini, Murtono seperi ingin menyajikan releksi bahwa sebuah berhasil idaknya sebuah pertunjukan kesenian tradisional sangat dipengaruhi oleh kondisi psikologis, sosial dan budaya masyarakat penontonnya. Warga Samaran, yang belum mengenal ludruk dan secara sosial sedang menghadapi persoalan terkait ketakutan dan kekhwairan akan kutukan yang akan datang, masih belum tenang dan stabil kondisi psikologisnya. Para penduduk Samaran yang menonton lawakan itu seperi idak terpengaruh dengan penampilan fi sik pelawak yang lucu dan pakaiannya yang mirip badut. Mereka seperi sulit untuk tertawa karena beban dan rasa kekhawairan yang sebelumnya sering melanda, seperi ketakutan dan kekhawairan yang dialami Yai Gendut, tokoh dalam novel Samaran yang telah muncul di bagian awal novel. Mereka juga menganggap sang pelawak yang curhat soal hutang tak perlu ditertawakan, karena bagi penonton hutang adalah yang yang terkait dengan kesusahan. 65DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020Menyaksikan fenomena lawakan ludruk yang idak mendapatkan respons, sang Besir menjadi tegang dan “keringat dingin iba-iba merembes keluar dari pori-pori di tubuhnya” Murtono, 2018112. Besir sedang menghadapi situasi pertunjukan yang idak pertama kalinya sepanjang karirnya sebagai pelawak, baru kali itu ia naik ke atas panggung tanpa sambutan tawa dari penonton. Awalnya, ia mengira ada yang salah dengan pakaian atau potongan rambutnya. Namun segera ia menyadari bahwa pakaiannya adalah pakaian warna warni serupa badut yang biasa ia kenakan di pentas-pentas sebelumnya…Ia menguat-nguatkan diri, menggunakan jurus lainnya untuk memancing tawa penonton. Ia menceritakan kisah tentang dirinya yang terjebak hutang dengan menggerak-gerakkan perut gendutnya. Cerita seseorang yang terjebak hutang demi memenuhi permintaan istrinya untuk kawin lagi idak pernah gagal mendulang tawa sebelumnya. Sebuah cerita kecut yang diubahnya menjadi cerita ringan dan menghibur. Selama bertahun-tahun, ia yakin, cerita sedih orang lain adalah hiburan bagi orang lainnya. Kali ini, ia mesi merevisi keyakinannya sendiri Murtono, 2018 112 Publik atau penonton seni pertunjukan ludruk dengan latar sosial budayanya ternyata memberikan respons berbeda dari yang pernah para pelawak ludruk dapatkan sebelumnya. Pada konteks ini, Murtono mampu menyakinkan narasi kriis tentang lawakan ludruk yang sebenarnya justru idak menghibur namun menciptakan kesan kesusahan dalam benak penonton7. Murtono menunjukkan bagaimana publik penonton idak bisa disamaratakan. Berdasarkan hal tersebut, para pemain ludruk, khususnya para pelawak yang idak mendapat sambutan hangat keika melawak harus merekonstruksi dan mereformulasi lawakan mereka di panggung. 7 Terkait dengan fenomena dagelan/lawakan dan kesedihan yang bisa tampak menyatu sebagai keutuhan dalam ludruk, Peacok mengutip pendapat Boeradi dalam diskusi Komisi C, Seminar Ludruk di Balai Pemuda Surabaya pada 25-28 Desember 1960 yang mengatakan “kita tak bisa membandingkan ludruk dengan drama Barat karena dalam drama Barat tak ada yang menyerupai kombinasi antara kelucuan dan nasib sedih seperti dalam ludruk. 200568 66 KRITIK SENIRespons hambar penduduk Samaran atas lawakan ludruk membuat Besir mengambil keputusan. Narasi tentang adaptasi yang dilakukan Besir terkait masalah lawakan tersebut mengindikasikan sekaligus mencerminkan kesenian tradisional harus pandai-pandai beradaptasi dengan lingkungan dan penonton. Dalam kuipan di bawah ini kita akan menemukan gambaran bagaimana sang Besir kemudian bersikap terhadap respons penonton atas lawakan ludruk Lawakan itu berubah menjadi sebuah tragedi. Besir memberi isyarat agar mereka segera turun dari panggung. Nani, keika pertunjukan usai, Besir berkata kepada seluruh anggota kelompok ludruknya bahwa untuk pentas selanjutnya, selama mereka berada di Samaran, sesi lawak dihapuskan. Keputusan itu tetap saja terasa mengejutkan meski semua anggota kelompok tahu apa sebabnya. “Kalau begitu,”jawab pelawak berjambul merah dengan lesu,”kami tak ada gunanya di sini. Kami idak pentas. Dan kami idak akan mendapatkan honor,”lanjutnya.“Apa maksudmu?” Jawa Besir dengan pertanyaan lain yang idak membutuhkan jawaban. “Kita keluarga dan kalian tetap akan mendapat honor seperi biasanya.”Murtono, 2018 134Kuipan di atas mereleksikan hal-hal pening yang perlu ditelaah lebih lanjut terutama terkait dengan strategi adaptasi kesenian tradisional dan juga terkait secara khusus dengan penghilangan unsur dalam ludruk karena perimbangan tertentu. Besir terlihat bisa dan berusaha mengendalikan situasi. Sebagai pemimpin ludruk, dia tampak merespons situasi dengan cepat dengan tetap berusaha menciptakan suasana kondusif di antara para pemain ludruk. Peran Besir dalam meredam gejolak di internal ludruk karena lawakan yang tak mendapat tanggapan itu menunjukkan bagaimana dia harus memperimbangkan penonton di satu sisi, dan para pemain di sisi lainnya. Perubahan pakem’ ludruk dengan diiadakannya lawakan diikui keputusan Besir untuk tetap meyakinkan para pelawak untuk tetap bertahan dalam rombongan ludruk. 67DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020Hal menarik dari novel Samaran menurut saya adalah bagaimana kelompok kesenian ludruk idak hanya menggelar pentas dalam tobong, namun juga terlibat dalam dinamika kehidupan masyarakat di mana mereka berada. Pertunjukan ludruk dengan tobong dalam waktu lama di sebuah desa sekarang sudah sulit untuk ditemukan. Selera masyarakat terkait senki pertunjukan sudah mengalami pergeseran dan perubahan. Pagelaran ludruk lebih sering dilaksanakan secara insidental berdasarkan undangan dan pesanan dalam durasi waktu yang tak lebih dari semalam. Di tengah arus modernisasi, masyarakat lebih menyenangi kesenian yang benar-benar menghibur seperi pertunjukan dangdut koplo, musik pop, dan berbagai produk budaya kekinian. Kesenian tradisional seperi ludruk makin kurang diminai. Meskipun demikian, kelompok kesenian ludruk masih ada yang terus bertahan hingga ini. Terkait lawakan yang diangkat dari kondisi yang sebenarnya mencerminkan kesusahan yang digambarkan dalam novel Samaran, Murtono juga menggambarkan fenomena itu dalam antologi puisi Ludruk Kedua. Dalam puisi bertajuk Bersiap Menonton Ludruk Murtono mengarikulasikan sebuah lawakan sesungguhnya tak bisa dilepaskan dari kesedihan dan kekecewaan. Secara fi losofi s dalam seiap tawa berpotensi mengundang dan mengingatkan akan sebuah dukaTapi ada saja yang lupa, senaniasabahwa bersiap menonton ludrukadalah bersiap kecewasebab tawayang ditanam dalam lawakankerap terbawa dalam seiap kemaiandi sepanjang alur lakondalam segenap arimata yang diandaikanmenggenang di mata para perempuanyang idak sesungguhnya perempuan itu,senaniasa 68 KRITIK SENILawakan adalah anitesis dari kesedihan yang juga menjadi bagian integral dari pertunjukan ludruk. Jika kita menengok kembali lakon-lakon ludruk di dalamnya selalu saja ada yang mai. Kemaian itu membuat keluarga dan saudara bersedih. Kesedihan itu bisa juga dirasakan oleh penonton. Namun, di balik itu yang menarik adalah bagaimana kesedihan atau kesusahan dipercandai dalam ludruk. Arinya, kesedihan dan kesusahan dinilai’ bisa mendatangkan kebahagiaan di kelak kemudian hari. Pendidikan Ludruk untuk MasyarakatSaya memiliki kesan Dadang Ari Murtono sedang berusaha mengenalkan ludruk pada publik pembaca Samaran. Jika publik itu adalah masyarakat yang sudah akrab dengan ludruk, tentu apa yang dilakukan Dadang Ari Murtono seperi menggarami lautan. Namun, bagi publik yang belum punya pengetahuan memadai tentang ludruk, maka novel Samaran sedikit banyak menyajikan gambaran tentang dunia ludruk dan berbagai isilah yang berhubungan dengan ludruk. Warga Samaran, mulai Kepala kampung hingga para penduduknya, adalah objek pengenalan kesenian ludruk. Murtono menuliskan isilah-isilah khusus yang berkaitan dengan ludruk dalam novel Samaran. Saya sempat berpikir bahwa Murtono telah menjadi ambasador ludruk melalui novel Samaran. Lihatlah bagaimana Murtono seperi sedang memberikan pelajaran tentang kesenian ludrukDi dalam tobong, kepala kampung menyaksikan sebuah panggung sederhana. Panjangnya sekitar iga kali batang bamboo tua utuh sedang lebarnya dua kali batang bamboo tua utuh. Lonjoran bamboo yang disambung dengan lonjoran lain melintang di langit-langit panggung, dan kain-kain yang bertali digantung di sana. Panggung itu seinggi orang dewasa dan lantainya dibangun dari blabak-blabak, lempengan lebar papan kayu. Di sebelah kiri panggung, ikar-ikar di gelar, di atasnya seperangkat gamelan ditata sedemikian rupa. Di belakang panggung, ada ruangan kecil disekat dengan lembaran-lembaran kain ipis. Di ruangan itulah para pemain ludruk merias diri, dan Besir yang merangkap 69DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020sutradara, akan menerangkan lakon kepada para wayang dapukan, mengatur waktu keluar dan teknik muncul, dan beberapa hal semacam itu. Kelak, setelah beberapa kali masuk ke dalam ruang belakang panggung itu, kepala kampung mengeri bahwa ruang itu bernama krombongan, penerangan yang dilakukan Besir disebut tedean, dan sebelum naik panggung, keika sesama wayang dapukan bercakap membahas apa yang nani dikatakan di atas panggung dan bagaimana lawan mainnya merespon, disebut sepelan. Ada papan hitam kecil di krombongan dan Besir membikin catatan-catatan yang sama sekali idak dipahami kepala kampung.”Ini papan gedripan,”kata Besir suatu kali. “Catatan-catatan ini dibuat untuk memudahkan tedean,”lanjut Besir. Murtono, 2018 104Isilah-isilah dalam kesenian ludruk digambarkan Murtono dengan deil melalui penjelasan yang didasarkan pada kamus’ kesenian ludruk. Akibatnya, narasi tentang seluk-beluk isilah ludruk ini justru menjadi iik lemah karena kita sebagai pembaca seperi sedang membaca buku panduan kesenian ludruk. Defi nisi-defi nisi atas beberapa isilah ludruk yang dipaparkan justru terkesan pedagogis, seakan sedang menyuapi pembaca dengan materi tentang kesenian ludruk. Melalui tokoh Besir materi-materi tentang ludruk seperi sedang diajakan kepada penduduk Samaran. Di balik kesan pedagogis itu, saya berpendapat bahwa sosialisasi kesenian tradisional seperi ludruk melalui karya memiliki nilai menarik karena memberikan sebuah pengalaman berbeda daripada keika seseorang mendapatkan penjelasan materi kesenian ludruk di bangku pendidikan. Paparan-parapan yang cukup panjang yang disampaikan oleh Besir ludruk tentang hal ihwal seputar ludruk dalam novel Samaran benar-benar membuat saya seperi sedang mendengarkan sebuah materi dalam perkuliahan. Paparan yang panjang tersebut terkadang terasa membosankan. Namun, informasi di dalamnya menurut saya begitu pening untuk diketahui oleh para pembaca novel. Keuntungan pembaca novel Samaran adalah bisa belajar tentang kesenian ludruk sambil menikmai alur kisah cerita yang di dalamnya dipenuhi konlik, 70 KRITIK SENIromanika dan berbagai kejadian menarik lainnya yang dikonstuksi sedemikian rupa oleh sang novelis, Dadang Ari Murtono. Sekarang Marilah kita lihat bagaimana sejarah ludruk dinarasikan Murtono dalam sebuah paparan yang cukup panjang“Ludruk,”begitu ia Besir memulai pengantarnya,”diciptakan bertahun-tahun yang lalu oleh iga orang sesepuh kami, yaitu Pak Sanik, Pak Pono, dan Pak Amir di Jombang, ehm, dari Jombang, iya. Mereka berkeliling dari kampung ke kampung, dan ke kampung lagi, pokoknya terus dari kampung ke kampung dan seterusnya begitu untuk menghibur orang-orang dan mereka mendapatkan uang dari situ. Uang, alat pembayaran. Uang, yang pening itu hiburan ini diawali dengan tari remo. Remo adalah tari, ehm…semacam gerakan-gerakan yang beraturan….ehm…pokoknya begitulah. Nani kalian bisa melihat sendiri bagaimana tari remo itu. Setelah itu remo selesai, iya, harus selesai dulu, beberapa travesty akan menyanyikan kidungan, ya menyanyi. Kidungan itu…ehm…begitulah pokoknya. Dan kalian pasi belum mengeri apa itu travesi. Dalam ludruk, pertunjukan yang akan kita saksikan setelah ini, semua yang terjadi di atas panggung, dimainkan oleh laki-laki, eh iya laki-laki, termasuk tokoh perempuan dalam lakon. Perempuan yang laki-laki jadinya. Para laki-laki pemeran tokoh perempuan inilah yang disebut travesi. Bila nani kalian di atas panggung melihat orang dibacok atau ditusuk, kalian jangan takut. Janganlah pokoknya. Itu idak apa-apa kok. Sungguh lho. Pokoknya begitu. Itu pura-pura belaka. Kalau namanya pura-pura, berari idak sungguhan terjadi. Ngeri kan? Begitulah ininya. Tidak akan ada orang yang benar-benar mai. Sekali lagi aku ulangi, itu hanyalah pura-pura. Pura-pura itu idak nyata, arinya ya idak nyatalah. Begitu. Dan orang yang memerankan tokoh jahat sebenarnya adalah orang yang memerankan tokoh jahat sebenarnya adalah orang yang ramah di luar lakon. Ramah dan baik hai. Tidak ada orang jahat di ludruk pokoknya. Begitulah ininya itu begitu. Mereka idak jahat bila idak sedang di pentas. Mereka baik pokoknya. Jadi bila nani kalian bertemu dengan pemeran tokoh jahat, kalian jangan menganggapnya jahat. Pokoknya apa pun yang nani kalian lihat di 71DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020atas panggung, itu pura-pura belaka, sekedar hiburan.” Murtono, 2018 109-110Penjelasan Besir tentang ludruk yang begitu panjang ini menjadi makin membosankan dan terkesan searah karena setelahnya idak diikui dengan dialog. Tidak ada pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan terkait paparan Besir itu. Padahal, misalnya, ada hal menarik yang bisa digali lebih jauh daripada sekedar pemaparan sejarah tentang siapa yang mendirikan ludruk, yaitu pertanyaan tentang mengapa mereka mendirikan ludruk dan bagaimana mereka mengembangkannya. Transfer pengetahuan tanpa ada dialog seperi ini justru menutup ruang wacana kriis terkait dengan kesenian ludruk. Kesannya, warga Samaran seperi sedang dicekoki narasi besar tentang ludruk dan mereka harus menerima narasi besar dari Besir itu sebagai sebuah kebenaran dan pemahaman yang harus diterima. Gambaran sejarah ludruk yang dituliskan Murtono dalam novelnya di atas, melalui turutan sang Besir ludruk, seperi sejarah ludruk yang bisa kita baca misalnya dalam buku karya Henricus Supriyanto yang berjudul Ludruk Jawa Timur Pemaparan Sejarah, Tonel Direksi, Manajemen dan Himpunan Lakon 2001. Dalam buku ini, Supriyanto memaparkan bahwa ludruk dimulai oleh seseorang bernama Pak Sanik yang pada tahun 1907 menunjukkan akivitas kesenian berupa ngamen yang diiringi musik lisan atau musik mulut, dan kemudian dalam perkembangannya Pak Sanik menggunakan alat musik kendang. Setelah itu, Pak Pono diajak bergabung dan untuk menarik perhaian penonton pak Pono keika mengamen dia mengenakan pakaian atau busana wanita dengan sebutan wedokan yang isilah mutakhirnya kini adalah travesi 200111 Sejarah berdirinya ludruk yang dipaparkan Murtono dalam novel Samaran dengan demikian terkesan mengacu pada sumber atau referensi. Murtono idak berupaya untuk menyajikan sejarah alternaif tentang ludruk dalam versinya tersendiri, tanpa terlalu kaku mengikui narasi-narasi dalam buku sejarah tentang ludruk. 72 KRITIK SENISang Besir ludruk juga digambarkan Murtono sebagai pemimpin ludruk yang berusaha untuk membangun citra ludruk dan para pelakunya sebagai komunitas kesenian yang baik, idak jahat, sehingga tak ada alasan bagi warga Samaran untuk menolak mereka. Namun demikian, ada hal yang kontradikif dibalik paparan tentang pencitraan ludruk sebagai kumpulan orang baik. Penjelasan Besir di bagian awal tentang orientasi ludruk seperi semata untuk mendapatkan penghasilan dari keuangan, justru menegasikan beberapa fungsi mendasar seni yang terkait dengan kepuasan bain, yang pada tataran yang lebih pening memiliki fungsi katarsis yaitu untuk penyucian jiwa. Seni pada dasarnya bukan semata soal uang dan penghasilan yang didapatkan dari karya seni tersebut, namun juga soal bagaimana para pegiat dan pelakunya bisa mengespresikan diri mereka. Ludruk dan Poliik dalam Novel SamaranDalam novel Samaran, Murtono juga menggambarkan bagaimana ludruk menghadapi konstalasi poliik di tahun 1960-an. Di tahun keika Indonesia berada dalam kondisi gening perisiwa pembunuhan para jenderal dan pertarungan kelompok yang pro dan kontra komunisme, kesenian termasuk ludruk juga terkena dampak. Prasangka dan perasaan curiga menghantui pikiran banyak orang, sehingga hubungan sosial menjadi idak harmonis. Orang-orang yang dicurigai terlibat komunis mendapatkan pengadilan’ dari kelompok massa tanpa sebuah proses pengadilan sebagaimana mesinya. Kelompok kesenian ludruk juga menjadi sasaran, karena para pelaku ludruk dianggap terlibat gerakan komunis. Lakon berjudul Maine Gusi Allah’ yang dimainkan menjadi dasar penilaian bahwa kelompok ludruk yang mementaskannya terafi liasi’ dengan PKI yang dianggap idak bertuhan. Murtono melalui novel Samaran menyajikan sejarah ludruk di tahun 60-an, menurut saya, karena memang masa-masa itu menjadi bagian pening dalam sejarah bangsa Indonesia, yang berdampak pada berbagai bidang kehidupan berbangsa, termasuk kesenian tradisional ludruk yang menjadi pusat perhaian Murtono. 73DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020Pada awal tahun 1966, beberapa bulan setelah sejumlah jenderal dibunuh di Jakarta, tentara dan banser bergerak cepat untuk menangkap, menyiksa, membunuh dan membantai orang-orang yang dianggap anggota atau simpaisan PKI. Di Jawa Timur, hampir semua seniman ludruk dianggap PKI. Kita idak bisa menyalahkan tentara atau banser. Selama beberapa tahun, sejumlah kelompok ludruk memainkan naskah Maine Gusi Allah dan itu menyebabkan kebanyakan orang berpikir bahwa orang-orang ludruk adalah orang-orang yang tak bertuhan. Komunis kata mereka. Murtono, 2018 118-119Narasi Murtono tentang sigma komunis yang diberikan oleh kelompok yang pro Orde Baru dan kontra PKI berbasis sumber-sumber sejarah tentang eksistensi kesenian ludruk di masa tersebut. Narasi Murtono ini terkesan hanya fragmen atau potongan yang digunakan untuk membangun kilas balik ludruk di masa lalu yang menghadapi situasi sulit. Narasi historis itu, dalam konteks novel Samaran, berhubungan dengan pengisahan Murtono tentang rombongan ludruk yang bermain di kampung Samaran yang tengah menghadai tantangan. Eko Edy Susanto atau yang lebih dikenal sebagai Edi Karya pimpinan ludruk Karya Budaya menyinggung ihwal relasi ludruk dan poliik di era Orde Baru dalam bukunya Ludruk Karya Budaya Mbeber Urip. Menurut Susanto, pada tahun 1965-1967 ludruk dilarang pentas karena dianggap menjadi bagian dari Lembaga Kebudayaan Rakyat LEKRA dan propaganda Partai Komunis Indonesia 201460. Dalam kondisi saling curiga dan penuh prasangka, hal-hal yang belum terklarifi kasi sudah melahirkan penghakiman. Murtono dalam novel Samaran tengah berupaya meluruskan anggapan keliru yang menilai lakon Maine Gusi Allah’ merepresentasikan ideologi para pelaku ludruk yang ani-tuhan. Lakon itu sebagaimana dituliskan Murtono sebenarnya dipentaskan untuk melakukan kriik atau sindiran pada para haji yang menjadi tuan tanah dan hidup makmur di atas penderitaan para buruh yang tak pernah diperhaikan kesejahteraannya 2018119. Pada waktu LEKRA dan PKI memiliki posisi yang kuat dalam konstalasi poliik 74 KRITIK SENIIndonesia, narasi-narasi kesenian yang digaungkan selalu diarahkan sebagai bentuk perjuangan melawan kelas borjuis. Banyak seniman dan kelompok kesenian yang mengikui arus itu. Lakon Maine Gusi Allah yang diceritakan Murtono dalam novel Samaran berdasarkan liputan khusus Majalah Tempo memang pernah dimainkan oleh sebuah kelompok ludruk di Kecamatan Turen Malang. Penggalan dialog dalam pertunjukan itu, sebagaimana dikuip Majalah Tempo adalah “Sudah, biarkan saja mereka menghina kami. Gusi Allah mboten sare Tuhan idak idur,”ujar seorang pemain ludruk. “Gusi Allah gak turu, wong gak duwe kloso Tuhan tak idur karena idak punya alas ikar,”pemain ludruk lainnya menanggapi. Dialog itulah yang menyulur kemarahan salah satu anggota Banser Serbaguna. Dia kemudian meloncat ke atas panggung dan mengamuk di atas panggung. Anggota Banser itu menganggap dialog dalam pementasan tersebut adalah sebuah penistaan agama. Budayawan Agus Sunyoto dalam wawancara dengan Tempo menyampaikan bahwa pementasan tersebut sebenarnya menggambarkan kondisi masyarakat yang sudah karena kondisi ekonomi yang sulit. Kidung dan parikan dalam pementasan tersebut sebenarnya merepersentasikan kegeiran dan kekecewaan hidup. Namun, sindiran yang diungkapkan dalam bentuk seni itu seperinya disalahpahami oleh penduduk di desa tempat pertunjukan dilangsungkan Tempo, 6 Oktober 2013 Dalam sebuah konstalasi poliik yang idak kondusif di era 1965-an, hal-hal yang dianggap bertentangan dengan keyakinan dan ideologi yang diyakini akan ditentang dan dilawan sedemikian rupa, bahkan akan dilenyapkan. Dalam antologi puisi Ludruk Kedua Murtono juga menulis hal ihwal gejolak tahun 1965 yang memengaruhi kehidupan kesenian ludruk. Pemerintah melalui aparatnya digambarkan Murtono memiliki kepeningan untuk mengontrol kesenian ludruk. Gambaran eskalasi poliik tahun 1965 dalam puisi berjudul Petasan Pembuka Pentas Ludruk tentu berbeda secara ekspresi dari narasi yang ada dalam novel Samaran. Penggambaran dalam puisi terasa lebih padat karena bahasa yang 75DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020dituntut padat pula. Selain itu, penggambaran dalam puisi seringkali terlihat sepenggal-sepenggal bahkan melompat-lompat karena baris puisi harus bergerak ke baris lainnya secara singkatdi kampung kami1965betapa lakon-lakon tak berteks inimerangkak dari orang-orang susah makanyang digencet tuan tanah dan hantu desalalu radio membawa kabar dari kota yang jauhtentang sejumlah jenderal yang ditanamdi bawah dongkel pisangsejak itu, tentara rajin menyisir tobongdan teropan, mengambil segala yang kami punyadan sok lebih mengeri segala itudaripada kamiiba-iba, kami telah merupa terjmah dariperkataan kerbai yang dicucuk hidungnyatapi kami bukanlah sepenuhnya kaum penurutlalu kami gunggung mereka yang dengan pongahmemaksa kami menjadi bagian dari kampanyedan menandai sebuah pentas dengan salvoyang seolah terus mengingatkan kamibetapa mudah mereka memecahkan jantungsiapa pun yang melawanMurtono, 201626-27Terdapat benang merah antara puisi di atas dengan narasi kesenian ludruk di tengah ketegangan poliik 65 yang digambarkan dalam 76 KRITIK SENInovel Samaran. Baik buku puisi Ludruk kedua maupun novel Samaran memberikan perhaian serius pada situasi poliik dan tragedi 1965 yang memengaruhi perjalanan kesenian ludruk. Dalam puisi di atas kita juga mendapatkan gambaran tentang pentas ludruk di tahun 1965 yang mengangkat isu orang-orang proletar yang hidup sudah karena tuan tanah dan hantu desa’. Dalam novel Samaran dideskripsikan bahwa lakon Maine Gusi Allah’ merupakan kriik kepada para haji yang menjadi tuan tanah dan menyebabkan kesengsaraan rakyat jelata. Dalam puisi di atas kita melihat bagaimana aparat kemudian pada waktu pasca gerakan 30 September yang dilakukan PKI begitu gencar melakukan screening’ dan indakan mata-mata bahkan aksi represif terhadap kelompok kesenian, termasuk ludruk, dan para pelakunya. Dalam puisi di atas kita justru mendapatkan gambaran deil tentang upaya pemerintah untuk menggunakan kesenian tradisional ludruk sebagai alat kampanye. Namun, idak semua pelaku ludruk mau mengikui instuksi itu. Sebagian dari mereka tetap melakukan resistensi. Eskalasi poliik pasca adanya gerakan 30 September 1965 memanas dan menimbulkan dampak bagi kehidupan di Indonesia. Dalam novel Samaran, Murtono menggambakan kelompok-kelompok masyarakat, termasuk kelompok kesenian yang dianggap terkait dengan komunis diburu bahkan dihabisi simpaiasannya, seperi digambarkan Murtono dalam kuipan di bawah ini “…Cak Ban berdiri paling depan keika sejumlah tentara dan banser mendatangi tobong mereka di Malang. Cak Ban memasang Badan, mengajukan penawaran. Cak Ban bersedia dibawa asal seluruh anggota kelompok ludruknya dibiarkan hidup. Tapi tentara dan banser sudah kadung kalap. Dan orang kalap idak bisa berpikir jernih. Mereka pergi dari tobong itu setelah membunuh semua orang dan mengubah mayat orang-orang ludruk, beserta panggung dan tobong, menjadi arang. Cak Ban rela mai demi ludruk. Cak Ban telah mengalami sesuatu yang jauh lebih mengerikan daripada apa yang pernah kita alami dalam ludruk.” Murtono, 2018119 77DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020Murtono menarasikan tragedi berdarah itu sebagai sejarah kelam dan mengerikan yang pernah menimpa para pelaku ludruk untuk menegaskan bahwa ludruk pernah menghadapi situasi sangat sulit yang penuh konfrontasi. Tujuan Murtono, saya kira, selain mengingatkan kembali bahwa kesenian tradisional idak bisa terlepas dari dinamika poliik, juga untuk menyampaikan pesan pada para pelaku ludruk setelah masa itu bahwa tantangan-tantangan yang dihadapi ludruk yang berkembang belakangan idak semenakutkan tantangan yang pernah dihadapi sebelumnya. Oleh karena itu, para pelaku ludruk di era pasca kegeningan tahun 1965-1967 seharusnya idak mudah menyerah menghadapi situasi. Apalagi yang terjadi di Samaran hanyalah terkait dengan masalah warga yang belum bisa menerima ludruk secara terbuka dan dengan pemahaman yang diharapkan. Dalam kuipan di atas, kita juga bisa menangkap makna tentang indakan heroik yang ditunjukkan oleh pimpinan ludruk dalam menghadapi situasi yang gawat di tahun 1965-an. Pimpinan ludruk atau Besir berani menghadapi dan melakukan negosiasi, meskipun pada akhirnya tragedi tetap historis yang disampaikan itu membangkitkan spirit pemain ludruk yang tengah berada di kampung Samaran, sebagaimana digambarkan Murtono orang-orang di dalam krobong semakin dalam menundukkan kepala. Tapi ada sesuatu yang bergolak dalam dada mereka. Semacam keberanian. Semacam semangat yang dimiliki syuhada sebelum maju perang mencari syahid 2018119-120. Perbandingan yang dibuat Murtono terkait kesadaran dan keberanian para anggota ludruk menjadi menarik untuk dibahas karena Murtono membandingkan spirit itu dengan berjihad, sebuah perjuangan yang mulia di jalan Tuhan. Perjuangan para seniman ludruk bisa dipandang baik karena mereka memperjuangkan kesenian tradisional yang makin terpinggirkan dan dicibir orang. Padahal kesenian itu telah mengakar dan menjadi ciri khas/idenitas bangsa Indonesia. Alur yang dibangun Murtono terkait dengan eksistensi ludruk, yang tengah mendirikan tobong di Samaran, disisipi kisah historis 78 KRITIK SENIludruk di tahun 1960-an memang terkesan terkait dengan usaha untuk memompa semangat para pelaku ludruk generasi belakangan. Besir ludruk digambarkan Murtono menceritakan itu untuk membangun kesadaran di antara pelaku ludruk bahwa untuk menggapai mimpi dan harapan serta kelangsungan kesenian tradisional, seorang pelaku ludruk harus mau berkorban.“Aku juga telah melakukan banyak hal demi ludruk meski tak seluarbiasa apa yang dilakukan Cak Ban. Kebanyakan dari kalian, yang masih muda-muda, memang tak mengetahui ini. Atau mengetahui sepotong-sepotong. Tapi coba Tanya Cak Ceker,”Besir menunjuk seorang panjak tua,”Dia dari awal bersamaku menghidupkan kembali kelompok ludruk yang mai setelah perisiw di Malang itu. Aku harus pergi ke kantor Polsek dan Koramil untuk meminta izin pendirian kelompok ini. Mereka memandangku dengan penuh kecurigaan. Mereka bahkan menyekapku selama sebulan dengan tuduhan hendak menghidupkan PKI lagi di negeri ini. Bagaimana seorang seperi aku bisa menghidupkan PKI lagi? Pada akhirnya aku merelakan rumahku dijual agar aku bisa keluar dari penjara. Murtono, 2018 120Narasi perjuangan yang dituturkan Besir di atas menunjukkan kesulitan dan jalan terjal dalam upaya melestarikan kesenian ludruk. Di tengah relasi antara seni dan poliik yang idak kondusif karena tragedi 1965, sang Besir tetap memperjuangkan ludruk agar bisa eksis kembali. Pengorbanan Besir yang begitu besar mengindikasikan rasa cintanya pada ludruk. Ia rela melakukan apa saja agar ludruk kembali hidup dan bebas dari sigma negaif yang pernah dikonstruksi pemerintah Orde Baru dan sebagian masyarakat. Selain kilas balik eksistensi ludruk di masa tahun 1965-an, Murtono juga memberikan gambaran tentang bagaimana pemerintah Orde Baru kemudian menggunakan kesenian tradional ludruk untuk kepeningan kekuasaan mereka. Jika sebelumnya ludruk mendapatkan pengaruh dari ajaran komunisme melalui Partai Komunis Indonesia, 79DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020di masa Orde Baru kesenian tradisional ludruk menjadi corong partai poliik penguasa yaitu Golkar. “Mungkin ada di antara kalian yang bertanya-tanya kenapa kini tentara atau polisi tak lagi mengikui kita pentas dan salvo diganikan oleh petasan. Beberapa tahun setelah Soeharto menjadi presiden dan Golkar dibentuk, mereka memanfaatkan ludruk sebagai alat kampanye Golkar. Peraturan dilonggarkan dan salvo idak perlu diadakan. Sebagai gani salvo, petasan diledakkan. Namun setelah Soeharto jatuh, aku pikir, kita idak perlu lagi menyalakan petasan. Kita hidup di zaman yang lebih baik. Murtono, 2018 121Sejarah panjang kesenian ludruk yang dinarasikan Murtono menunjukkan bagaimana ludruk secara dinamis dipengaruhi oleh beberapa rezim yang memiliki kepeningan berbeda. Ini dari paparan sejarah panjang itu adalah ludruk tetap bertahan dan mampu melewai berbagai masa sulit terutama di masa keika pemerintah mengontrol kehidupan kesenian. . Lakon-Lakon LudrukBanyak lakon yang biasa dimainkan oleh kelompok Ludruk. Supriyanto mengatakan bahwa lakon-lakon ludruk dari berbagai kantong kesenian ludruk seperi di Madiun/Nganjuk, Jombang, Surabaya dan Malang memiliki perbedaan atau versi lakon. Lakon-lakon tradisional yang populer misalnya Andhe-Andhe Lumut, Bledeg Branjangan, Maling Caluring. Sarip Tambakyasa, dan lain sebagainya 200161. Dalam novel Samaran Murtono menulis lakon Sarip Tambakyasa dengan Sarip Tambak Oso’. Murtono hanya menyajikan pementasan dari lakon Sarip Tambakyasa yang memang begitu terkenal dan lakon Maling Caluring. Lakon Sarip Tambakyoso dimainkan pertama kali di Kampung Samaran dengan tujuan menarik perhaian dan menciptakan kesan pertama di mata para penduduk Samaran. Melalui gambaran Murtono, kita sebagai pembaca seakan 80 KRITIK SENIdiajak menonton lakon ini melalui kalimat-kalimat dalam paragraf naraif maupun melalui dialog. Murtono secara deil menggambarkan pertunjukan lakon ini dari awal hingga akhirKelir terdepan diturunkan, menampilkan gambar pintu dan lemari. Ada kursi dan meja diletakkan di tengah panggung. Di sana, duduk beberapa orang dengan kulit dibedaki puih tebal. Senapan-senapan ditata rapi di belakangnya. Ada satu orang yang mengenakan blangkon dan bestar juga di sana. Lakon yang mereka mainkan malam itu adalah Sarip Tambak Oso. Adegan pertama itu berlatar tempat di kantor pemerintahan penjajah Gedangan, demikian si lelaki berblangkon itu disebut, tengah melaporkan hasil pungutan pajak yang idak berjalan dengan semesinya. Ada satu warganya yang menolak membayar pajak. Laporan itu disambut dengan kemarahan oleh serdadu Belanda. Mereka bersepakat untuk pergi menagih pajak bersama. Mereka turun dari panggung dan kelir ditarik untuk diganikan kelir yang lain yang menampilkan gambar pintu dan dinding gedek. Meja dan kursi dengan kondisinya yang jelek diletakkan di atas panggung dan seseorang yang berdandan perempuan duduk di sana. Para penonton, kali ini, idak menimbulkan kampung kembali menunjukkan gejala kagetnya yang aneh. Ia melongo dan beberapa tetes liur mengalir dari sudut bibirnya. Lurah Gedangan beserta beberapa serdadu langsung marah-marah begitu mereka naik ke atas panggung. Mereka menyeret-nyeret si perempuan, Mbok Sarip, begitu nani mereka menyebutnya, dan memukulinya. Itu hukuman bagi orang yang idak mau membayar pajak, bentak lurah Gedangan. Kepala Kampung nyaris melompat ke atas panggung begitu ia menyaksikan bagaimana mbok Sarip dihajar. Namun, ia buru-buru menyadari bahwa itu adalah indakan bodoh. Bukankah Besir sudah mengabarkan bahwa apa yang terjadi di sana pura-pura belaka. Murtono, 2018122Dalam kuipan di atas yang menarik adalah selain gambaran pentas di panggung, juga respons dari penonton yaitu kepala kampung. Murtono menyajikan pertunjukkan dan bagaiaman respons penonton 81DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020sekaligus. Seakan kita menyaksikan tokoh-tokoh bermain di atas panggung ludruk dan dalam waktu bersamaan melihat ingkah dan sikap penonton yaitu kepala Kampung. Sikap dan ingkah Kepala kampung menunjukkan ketertarikan bahkan nafsunya pada tokoh perempuan travesi di atas panggung sampai keika memandang sang travesi yang memainkan tokoh mbok Sarip, air liur Kepala Kampung menetes. Ini adalah sindiran yang dilakukan Murtono pada Kepala Kampung yang tak bisa mengontrol nafsunya. Dia seperi tak memedulikan istrinya yang bernama Romlah. Sikap lain yang digambarkan Murtono terkait sikap Kepala kampung adalah emosinya yang terpengaruh keika melihat Mbok Sarip dihajar. Dia lupa kalau adegan itu adalah pura-pura belaka. Versi lakon Sarip Tambakyasa yang digambarkan Murtono secara umum tak jauh berbeda dengan lakon yang bisa dimainkan dalam pertunjukan ludruk. Dalam lakon Sarip Tambakyasa versi Ludruk Surabaya dalam adegan di bagian awal berdasarkan naskah lakon tokoh-tokoh yang muncul adalah Mantri Polisi, Lurah Gedangan, Lurah Waru, Lurah Sedai dan Lurah Tratap, dan lurah Tambakyasa. Mantri polisi memerintahkan agar mereka menangkap Sarip Tambakyasa akarena telah melakukan kejahatan dan merampok harta benda penduduk desa, serta karena Mbok Sarip ibu dari Sarip idak membayar pajak kepada pemerintahan Belanda Supriyanto, 2001208. Perbedaan versi antara lakon versi ludruk Surabaya dan paparan lakon dalam novel Samaran merepresentasikan perbedaan naskah lakon ludruk Sarip Tambakyasa. Dalam novel Samaran gambaran tokoh-tokoh yang berada di latar awal idak selengkap dalam naskah ludruk Surabaya. Namun, secara umum kisah dominasi Belanda dan antek-anteknya, yaitu orang-orang pribumi yang mengabdi kepada Belanda, secara umum memiliki kesamaan. Kesamaan yang bisa kita temukan antara gambaran pentas lakon Sarip Tambakyasa dengan naskah lakon Sarip Tambakyasa adalah semangat perlawawanan yang dikobarkan Sarip Tambakyasa atas 82 KRITIK SENIpenjajah Belanda dan antek-anteknya. Murtono menuliskan dalam novel Samaran bagaimana semangat melawan Sarip begitu besar “Aku akan membunuh lurah Gedangan dan serdadu-serdadu itu, Mbok,” ujar si pemuda Sarip dengan wajah memerah. Jelas ia dikuasai kemarahan. Dan seluruh penonton, ikut geram mendengar apa yang dikatakan si pemuda. Dengan satu cara yang idak mereka mengeri penjelasannya, mereka merasa ibu mereka sendirilah yang disiksa dan mereka ingin membalasa dendam.“Jangan Sarip, jangan,”kata Mbok Sarip telah melompat pergi. Kelir diangkat. Simbok Sarip bangkit dan turun panggung. Kelir yang lain diturunkan, kelir dengan gambar tambak ikan. Lurah Gedangan, beberapa serdadu, dan Sarip naik ke atas panggung. Sarip memaki-maki dan menantang mereka untuk berkelahi.Murtono, 2018123. Kuipan ucapan Sarip yang disajikan Murtono ini menunjukkan bagaimana Murtono berusaha menghidupkan cerita dalam novelnya melalui kuipan langsung dan juga dialog. Pernyataan Sarip yang akan melawan para penjajah dan lurah Gedangan memengaruhi kondisi psikologis penonton sehingga mereka merasa ikut terlibat. Kisah heroik Sarip tampaknya menyulut kesadaran dan semangat para penduduk yang merasa bahwa indakan Sarip merupakan bentuk perlawanan terhadap kesewenang-wenangan sehingga harus mendapatkan dukungan. Narasi Murtono yang selalu menunjukkan respons penonton atas apa yang terjadi di panggung menciptakan sebuah narasi utuh sebuah pertunjukkan yaitu lakon, para pemain di panggung dan penonton seakan menyatu saling berkomunikasi dan terlibat dalam lakon yang sedang dimainkan. Baik dalam novel Samaran maupun dalam naskah lakon versi ludruk Surabaya, Sarip dikisahkan membunuh lurah Gedangan yang merupakan antek penjajah Belanda. Pembunuhan atas para serdadu Belanda juga menunjukkan resistensi 83DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020Sarip terhadap para penjajah Eropa itu. Kisah heroik Sarip ini tentu saja bisa memberikan kesadaran bagi para penonton untuk secara kriis melihat eksistensi para penjajah dan para pribumi yang menjadi antek penjajah. Namun, Murtono seperi menyayangkan’ padamnya aksi heroik itu dengan mainya sang lakon Sarip Tambakyasa. Dalam puisinya yang berjudul Bersiap Menonton Ludruk kita akan melihat baris-baris puisi yang menggambarkan bahwa seorang penonton harus bersiap kecewa dan berduka karena sang pahlawan pujaan mereka harus mai di akhir ceritadan bersiap menonton ludrukadalah juga bersiap berdukasebab pahlawan-pahlawan lokalakan meninggal di tangan serdadu kolonialselalu,dan perempuan-perempuan yang idaksepenuhnya akan melolongdalam luka yang dalam, dalam sedalam-dalamnyadalam, selaluMurtono, 201824Begitu berat menjadi lakon pahlawan di era kolonial dalam lakon ludruk. Lakon yang demikian barangkali terinspirasi oleh realitas bahwa banyak pahlawan bangsa Indonesia yang akhirnya gugur di medan laga. Jika idak di medan lagi, para pahlawan di era perjuangan kemerdaan ditangkap dan dipenjara hingga meninggal. Sarip Tambakyasa meninggal di akhir kisah. Murtono menulis narasinya dalam novel Samaran serdadu-serdadu itu kembali ke rumah Mbok Sarip sebelum Sarip bangkit. Mereka memanggil Sarip dan begitu Sarip bangkit dengan penuh kemarahan, serentetan tembakan menjenkangkan tubuh Sarip Murtono, 2018 126 Sementara dalam naskah lakon Sarip Tambakyasa yang terdokumentasikan kisah kemaian Sarip dinarasikan begini 84 KRITIK SENISarip dikepung oleh penduduk desa dan polisi Belanda. Dari jauh Sarip dapat melihat ibunya yang dirangket dan mulutnya ditutup kain. Sarip mengamuk, tetapi akhirnya Sarip ditembak mimis polisi Belanda. Sarip idak kampu hidup lagi karena suara gaib ibunya idak pernah memanggilnya lagi. Sarip menemui ajalnya. Supriyanto, 2001211Sebelum Sarip meninggal, konlik lakon Sarip Tambakyasa makin disajikan secara menarik karena Sarip sesungguhnya idak hanya berhadapan dengan penjajah Belanda, namun juga orang Indonesia, termasuk tokoh bernama Paidi. Dalam agedan lain lakon Sarip Tambakyasa yang terjadi di atas panggung, Murtono menghadirkan tokoh bernama Paidi musuh lain dari Sarip yang kemudian berseteru dan berduel dengannya. Paidi bermaksud menikahi Saropah anak paman Sarip dalam naskah lakon yang dilampirkan di buku karya Supriyanto berjudul Ludruk Jawa Timur Pemaparan Sejarah, Tonel Direksi, Manajemen dan Himpunan Lakon nama paman Sarip yaitu H. Riduwan disebutkan—dalam novel Samaran Murtono idak menyebut nama H. Riduwan, hanya menyebut paman Sarip’. Baik dalam lakon versi ludruk Surabaya dalam lampiran buku Supriyanto dan dalam novel Samaran digambarkan H. Riduwan memiliki konlik dengan keluarga Sarip karena H. Riduwan mengelola tambak milik keluarga Sarip namun idak pernah membagi hasil dan membayarkan pajaknya. Konlik itu kemudian berkembang keika Paidi bermaksud meminang Saropah. H. Riduwan justru memberikan syarat pinangan itu yaitu meminta Paidi membunuh Sarip Tambakyasa. Selengkapnya penggalan lakon Sarip Tambakyasa versi ludruk Surabaya terkait dengan konlik antara Sarip, H. Riduwan dan Paidi adalah sebagai berikut ditulis dalam format sesuai lakon yang dilampirkan dalam buku Supriyanto, langsung di urutan adegan ke-4 yang menunjukkan konlik tersebut 85DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 20204. Rumah Kota Mualim Kakak Sarip bersama istrinya di rumah…Mendadak datanglah Sarip dan Mbok Sarip yang telah babak belur. Suasana rumah mendadak rebut. Sarip mengisahkan nasib Malang ibunya yang telah dipukuli oleh lurah Gedhangan bernama Sarkawi. Ia juga mengatakan bahwa Sarkawi terpaksa dibunuhnya. Mualim merasa ketakutan, karena perbuatan itu akan menimbulkan kemarahan pihak polisi. Sarip diminta Mualim agar meninggalkan rumahnya, sedang ibunya akan dirawat di rumahnya. Sebelum Sarip meninggalkan rumah Mualim, ibunya mengatakan bahwa tambak warsian ayahnya telah lama digarap H. Riduwan Paman Sarip. Haji Riduwan yang berjanji membagi hasil tambak ternyata tak pernah dipenuhi dan bahkan pajaknya pun idak Jalan Kusir dokar H. Riduwan menjemput Ning Saropah. Ning Saropah adalah putri H. Riduwan ia menjumpai Ning Saropah ditemani Sarip di tepi Jalan. Paidi marah. Kedua lelaki itu bertengkar mulut. Atas permintaan Saropah, Paidi meninggalkan tempat Jalan Pertemuan kedua Paidi dan Sarip. Keduanya bertengkar. Sarip dipukul jagang dokat lalu mai. Kemaian Sarip ditemukan mbok Sarip. Setelah dilompai iga kali, Sarip hidup lagi.Supriyanto, 20012009 86 KRITIK SENIDalam kuipan lakon versi ludruk Surabaya tersebut di atas kita bisa menyimpulkan bahwa Padi marah dan membunuh Sarip karena rasa idak sukanya karena Sarip menemani Saropah yang ditaksir Paidi. Sementara, dalam pertunjukan yang digambarkan Murtono dalam novel Samaran, selain Paidi dan Sarip yang berkelahi, kita juga menemukan perkelahian antara H. Riduwan dan Sarip yang berakhir dengan babak belurnya tubuh H. Riduwan. Perkelahian tersebut dipicu oleh kemarahan Sarip pada pamannya yang dipandang sebagai biang keladi masalah Murtono, 2018 123. Murtono bisa saja membangun dan menambah konlik berdasarkan imajinasinya agar cerita novelnya semakin seru. Dia bisa juga menggunakan versi lakon Sarip Tambakyoso yang berbeda dari naskah lakon versi ludruk Surabaya sehingga kisah deil konlik tersebut menjadi sedikit ada perbedaan. Saya juga menemukan hal berbeda antara cara atau sebab Sarip bisa hidup lagi. Dalam kuipan naskah lakon versi ludruk Surabaya di atas, Sarip hidup kembali setelah dilangkahi iga kali oleh ibunya. Sementara, Murtono menggambarkan bahwa Sarip akan selalu bangkit atau hidup kembali dari mai bila namanya disebut oleh Mboknya Murtono, 2018125. Keduanya sebenarnya memiliki kesamaan secara subtansial yaitu kekuatan Sarip untuk bisa hidup lagi berada pada diri Mboknya, hanya saja gambaran cara Sarip hidup kembali berbeda antara yang di dalam novel dan dalam naskah lakon yang sudah terdokumentasikan. Dalam puisinya yang berjudul Ludruk Murtono menyampaikan tradisi dalam ludruk bahwa pentas idak bergantung pada teks naskah lakon tertulis. Tradisi inilah yang menyebabkan dokumentasi atau pencarian naskah lakon secara utuh dari awal sampai akhir yang menyajikan dialog secara deil sulit untuk ditemukan. Hanya naskah lakon berupa sinopsis dan alur secara umum dalam pentas yang bisa didokomentasikan. Murtono mempuisikan soal teks atau naskah ini dalam pembuka puisi Ludruk tersebutdi atas sanasebuah panggung dan sebuah 87DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020dunia dan peran-peranyang dibangun tanpa teksMurtono, 2016 20Penggalan puisi Murtono di atas menunjukkan bagaimana lakon ludruk disiapkan idak dengan teks sebagaimana teater modern yang teks atau naskahnya dirujuk sedemikian rupa karena memang di dalam naskah drama modern dialog-dialognya tertuliskan dengan begitu detail. Versi lakon yang berbeda-beda ini seringkali menjadi ciri lakon teater tradisional, yang idak memiliki tradisi pendokumentasian naskah secara tertulis, namun lebih menggunakan tradisi lisan dalam proses dan pelaksanaan pertunjukan. Terkait dengan fungsi dan perkembangan naskah lakon yang didokumentasikannya dalam buku Ludruk Jawa Timur Pemaparan Sejarah, Tonel Direksi, Manajemen dan Himpunan Lakon, Supriyanto mengatakan bahwa naskah-naskah lakon tersebut, yang ditulis dalam bentuk synopsis saja dan juga dalam bentuk detail dengan teknik per adegan, dapat dimungkinkan untuk dimodifi kasi menjadi naskah ludruk televisi atau ludruk di televise 200161. Dalam pandangan saya, naskah itu sebenarnya bisa dimodifi kasi idak hanya untuk kepeningan pentas ludruk di televisi, namun juga untuk disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Melihat banyak sekali persamaan antara gambaran lakon Sarip Tambakyoso dalam novel Samaran dengan naskah lakon yang pernah dibukukan, saya menilai Dadang Murtono idak berusaha melakukan dekonstruksi naskah Sarip Tambakyasa secara signifi kan. Murtono terlihat seia dan mengacu pada lakon Sarip Tambakyasa yang pernah ada. Dia idak berusaha menciptakan lakon itu menurut versinya dengan kreasi-kreasi baru. Sementara itu, untuk lakon Maling Caluring yang dimainkan di Kampung Samaran, Murtono membangun narasi pertunjukannya 88 KRITIK SENIsecara berbeda dari Sarip Tambakyasa. Jika lakon Sarip Tambakyasa digambarkan dengan deil mulai awal pertunjukan, jalan cerita dan akhir cerita termasuk dengan seluk beluk teknik pertunjukannya, lakon Maling Caluring hanya digambarkan sekilas. Urgensi lakon Maling Caluring yang dimainkan di Kampung Samaran, jika dikaitkan dengan kepeningan cerita novel Samaran bisa kita simpulkan paling idak terkait dua hal. Yang pertama, lakon Maling Caluring secara subtansial dihubungkan Murtono dengan kisah cinta terlarang antara tokoh Mat Ali dan Romlah istri kepala kampung. Setelah pentas Maling Caluring usai, Mat Ali merasa dalam beberapa hal dirinya sama belaka dengan Maling Caluring.” Sayangnya, aku idak bisa menyaru sebagai cahaya dan mencuri Romlah. Satu-satunya peluang untuk bertemu dan bercinta dengannya justri dalam kegelapan di dekat batu besar. Uh, alangkah jauhnya aku dari Caluring,”pikirnya. Murtono, 2018131Mat Ali dan Romlah merepresentasikan dua insan lawan jenis yang dimabuk asmara. Mat Ali tak peduli status Romlah yang merupakan istri kepala kampung. Romlah juga tak peduli cintanya pada Mat Ali sebenarnya melanggar ikatan perkawinannya dengan kepala Kampung. Rasa cinta Mat Ali pada Romlah begitu kuat, seperi perasaan cinta tokoh dalam lakon Maling Caluring yang bernama Caluring. Dalam lakon Maling Caluring yang dibukukan dalam buku Ludruk Jawa Timur Pemaparan Sejarah, Tonel Direksi, Manajemen dan Himpunan Lakon karya Supriyanto, Caluring nekat membawa kabur Sundari anak lurah di kampung karena cintanya pada anak lurah yang bernama Sundari. Sebenarnya ada lelaki lain yaitu Jono yang juga menyukai Sundari tetapi Sundari lebih memilih Caluring 2001157-159Relasi antara kisah dalam novel dengan lakon Maling Caluring ini mengindikasikan intertekstualitas. Teks Maling Caluring digunakan untuk membangun bandingan dengan apa yang dikisahkan dalam novel. Kisah di dalam kisah novel ini mencerminkan bangunan metafi ksi dalam novel Samaran yang menarik untuk ditelisik. Lapisan 89DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020cerita, mulai dari kisah dalam arus besar plot yang berisi kisah orang-orang atau penduduk Samaran yang kehidupannya makin dinamis dengan kehadiran rombongan kesenian ludruk, dan kisah dalam lakon-lakon dalam pertunjukan ludruk yang dimainkan di Samaran. Hal kedua, dalam kaitan antara Maling Caluring dengan narasi dalam novel berhubungan dengan lakon Maling Caluring yang lebih pendek dibanding Sarip Tambakyasa. Durasi pentas lakon Maling Caluring ini disadari dan diterapkan oleh sang Besir karena ia ingin warga samaran dan para pemainnya bisa berisirahat Murtono, 2018 131. Antusiasme penduduk Samaran terhadap ludruk yang makin meningkat ditanggapi Besir dengan memainkan lakon yang lebih pendek Maling Caluring karena Besir tahu orang-orang Samaran perlu bekerja di sawah pada pagi hari. Besir tak ingin mereka lelah karena menonton pentas ludruk dengan lakon yang panjang pada malam hari. Dalam buku puisi Ludruk Kedua Murtono masih mempertahankan tema besar Maling Caluring sebagai kisah yang terkait dengan indakan melarikan mencuri anak perawan orang. Namun, Murtono dalam puisi bertajuk Maling Caluring menyajikan sebuah sikap dari kami’ yang merepresentasikan generasi yang tengah berusaha mengenali pertunjukan ludrukdalam khazanahmu, maling perawankami datang memaling bahasa yang dilupakankau larikan itu perawankami larikan itu bahasalalu di sebuah tempatsewaktu kau masuki si perawankami rasuki si bahasa“alangkah, duh, alangkah susah ini jalan,”Katamu 90 KRITIK SENI“duhai, duh, duhai perawan ini bahasa,”Sahut itu lalu basah berdarahDalam kertas yang baru pertama di kenalnya“Seperi lakon, kami akan saling mencintai,”ujarmu“melawan lakon, kami akan salingMenuliskan, sebelum segalanya lenyapTersaput angina,”kata kamiMurtono, 201629Dalam puisi Maling Caluring di atas, negosiasi antara kami, yang menurut pendapat saya merepresentasikan generasi yang sedang menonton ludruk, dan kau’ yang merupakan pelaku seni ludruk yang tengah memainkan ludruk. Kami’ sedang berusaha berdialekika dengan bahasa yang disajikan. Bahasa menjadi medium yang bisa menjembatani kami’ dan kamu’. Kami’ sedang berusaha memaknai lakon yang ada melalui pemahaman dan interprestasi. Begitulah cara kami’ mengabadikan apa yang disaksikan sebelum segalanya lenyap, sebelum kesenian tradisional ludruk hilang dari peredaran dunia dan jagat kesenian. Dalam buku puisi Ludruk Kedua Murtono justru banyak menyajikan lakon ludruk dengan cara berbeda dari yang dia lakukan di novel Samaran. Dalam novel Samaran Murtono menfokuskan pada lakon Sarip Tambakyasa dan Maling Caluring secara umum, tanpa terlalu deil menyelami masing-masing tokoh di dalamnya. Dalam buku puisi Ludruk Kedua Murtono, selain menyajikan gambaran puiik naskah lakon lain—di luar Sarip Tambakyasa dan Maling Caluring, juga mengulii’ tokoh-tokoh dari beberapa lakon. Murtono dalam buku Ludruk Kedua mempuisikan tokoh-tokoh dalam lakon. Lakon berjudul 91DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020“Jaka Sambang” merupakan naskah yang menginspirasi Murtono untuk menuliskan puisi-puisi terkait dengan lakon tersebut. Dalam naskah “Jaka Sambang”, sebagaimana terdokumentasikan dalam buku Ludruk Jawa Timur Pemaparan Sejarah, Tonel Direksi, Manajemen dan Himpunan Lakon karya Supriyanto disebutkan beberapa tokoh pening di dalamnya seperi Jaka Sambang, Carik Bargawa, dan Suinah 2001135 . Keiga nama tokoh ini menjadi judul puisi-puisi karya Murtono dalam buku Ludruk Kedua. Lakon Jaka Sambang berlatar situasi penjajahan Belanda, sebagaimana lakon Sarip Tambakyasa. Dalam naskah yang dibukukan dalam buku Supriyanto kita idak akan menemukan ungkapan tokoh secara langsung atau dialog. Dalam puisi-puisi Murtono kita bisa membaca penggalan-penggalan ungkapan dan dialog tokoh-tokoh lakon Jaka Sambang. Salah satu puisi karya Murtono yang terkait dengan lakon Jaka Sambang bertajuk Carik BargowoTak ada yang berdukaKeika bargowo merenggang nyawaDan seorang penonton memaki jongorSewaktu tubuh Bargowo jatuh menggelosorDan tak bangun lagi sampai lakon selesaiSselain abilowo, tentu saja,Abilowo yang berulang berkataBahwa lurah dan carik seumpama suami istriYang mesi terus gandeng rentengAgar rumah tetap ramah dan tangga terjaga dan tangguhDan tak ada yang menyadari bahwa hanya BargowoYang mampu membuat Belanda,Serdadu-serdadu penakluk negeri itu,Menjadi boneka bongkar pasangMenjadi sapi penghela cikar 92 KRITIK SENIDan lantaran Bargowo bukan Soekarno atau DiponegoroIa tak akan pernah disebut pahlawanMurtono, 201642-43Puisi di atas menjadi contoh menarik dari cara Murtono dalam mempuisikan salah satu tokoh bernama Carik Bargowo yang merupakan bagian dari lakon Jaka Sambang. Murtono berusaha melakukan interprestasi ulang atas tokoh Carik Bargowo dalam puisi di atas. Selain sisi buruk sang Carik yang menjadi antek kompeni Belanda dan sebagai pejabat desa yang berkontribusi bagi kerja rodi dengan mengirim para penduduk, Carik Bargowo ternyata dianggap sebagai sosok yang mampu menaklukkan’ Belanda. Murtono melalui puisi di atas seperi mengandaikan, bahwa jika Bargowo adalah Soekarno atau Diponegoro, dia bisa saja sudah menjadi pahlawan. Dalam bagian lain di buku Ludruk Kedua, Murtono juga mempuisikan tokoh Suinah yang merupakan bagian dari lakon Jaka Sambang. Bahkan, khusus terkait dengan tokoh Suinah, Murtono menuliskan dua puisi yaitu puisi berjudul Suinah dan Mencari Surga di Telapak Kaki Suinah hlm. 46Citra Travesi Yang Dipuja dan yang Didera DeritaDalam jagat kesenian ludruk, peran travesi begitu pening dan utama. Murtono menggambarkan travesi idak hanya keika berada di atas panggung ludruk dan mendapatkan perhaian penonton, namun juga keika mereka lebur dalam kehidupan sosial masyarakat, termasuk terkait masa lalu travesi tersebut. Hal ini menarik untuk mengetahui hal-hal ironis seorang travesi, bahwa di balik pujian dan glamor pakaian di panggung, dia seringkali mengalami kehidupan yang sulit dan menekan bahkan menyakitkan. Travesi seringkali berada dalam kuasa seseorang atau kelompok dan juga kekuatan di luar dirinya sehingga dia tak berdaya. Kondisi psikologisnya seringkali idak stabil karena tekanan dan berbagai persoalan yang terjadi baik di lingkaran 93DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020kesenian ludruk maupun di ludruk digambarkan Murtono memiliki kuasa atas kesenian ludruk termasuk para pemainnya. Sebagai pucuk pimpinan, Besir merasa paling berjasa, bertanggung jawab dan memiliki peran yang paling pening dalam kesenian ludruk dan kehidupan sosial orang-orang ludruk di bawah pimpinannya. Salah satu bagian dari anggota kelompok ludruk itu adalah travesi, yang merupakan seorang lelaki namun memiliki perilaku dan gaya seperi perempuan. Travesi inilah yang biasanya dikenal sebagai wandu, yang menjadi bagian dari pelaku ludruk yang signifi kan perannya. “Semua anggota ludruk di sini adalah tanggung jawabku. Semua yang terjadi di sini adalah urusanku. Apalagi kau, Minten. Tidakkah kau ingat siapa yang menyelamatkanmu dari pelacuran pinggir jalan, memberimu hidup yang lebih baik dan lebih terhormat dari sekadar menunggu lelaki-lelaki hidung belang yang membayarmu murah…Tidakkah kau ingat itu?” Murtono, 2018 128Kuasa sang Besir atas Juminten, sebagai travesi, terlihat dari cara dia mengungkit masa lalu keika Besir merasa berjasa mengangkat Jumintan dari lembah hitam pelacuran. Dengan cara mengingatkan Juminten akan masa lalu tersebut, Besir berharap Juminten ingat akan kebaikan dan hutang budi sang Besir kepadanya. Harapannya, Juminten bisa tetap berada di bawah kendali dan kontrol kuasanya. Kondisi psikologis dan sosial Juminten bisa kita lihat dari ungkapannya yang dinarasikan Murtono secara panjang. Ungkapan Juminten ini menjadi medium untuk menguak idenitas dan juga kehidupan sosialnya. “Aku ingat itu. Aku ingat sepersis aku ingat betapa buruk masa kecilku. Aku terlahir dengan kelamin yang salah. Tuhan kadang memang beringkal konyol. Bagaimana seorang perempuan memiliki burung, hah?Tak peduli sekeras apa aku berusaha beringkah dan bergaul dengan anak laki-laki, aku tetap tak bisa mengelak dari bersikap lembeng. Seperi baru kemarin rasanya bapakku memukuliku karena aku memakai bedak ibuku. Dan 94 KRITIK SENIdi sudut dapur, ibuku hanya menangis. Ia idak membelaku. Ia idak berusaha mencegah bapakku yang seakan-akan hendak membunuhku...Aku terbiasa hidup susah, Besir. Aku bersyukur dan aku berterima kasih kepadamu karena kau mengambilku, menyelamatkanku dari hidup yang begitu buruk. Murtono, 2018 128Posisi Juminten lemah di hadapan Besir karena sang Besir berperan besar dalam mengubah hidup Juminten, dari seorang yang pernah hidup di jalanan’ hingga menjadi aktor ludruk yang dikagumi banyak orang. Tanpa campur tangan Besir, Juminten mungkin belum bisa setenar keika dia sudah menjadi bintang dalam kelompok ludruk pimpinan Besir. Ironisnya, kuasa Besir atas Juminten membuat Besir melakukan eksploitasi atas diri Juminten, seperi menjadikan Juminten sebagai pemuas nafsunya Besir yang memang idak menikah. Gambaran tentang relasi Besir dan travesi dalam novel Samaran idak bisa dijadikan patokan kehidupan ludruk dalam kehidupan nyata. Versi kehidupan travesi dalam rombongan ludruk pimpinan Besir yang memainkan ludruk di Kampung Samaran hanyalah versi yang narasinya berada di tangan Murtono sebagai pengarang novel. Fenomena yang digambarkan Murtono tentang Juminten dalam hubungannya dengan Besir idak bisa digunakan untuk mengeneralisir kehidupan travesi dalam ludruk dan relasinya dengan Besir dalam kehidupan nyata. Sebagai contoh, jika kita membaca penuturan Besir ludruk Karya Budaya, Pak Edy Karya, kita akan memiliki kesan jika Besir Edy Karya justru memberikan kebebasan kepada travesi untuk berkreasi dan mengembangkan diri serta memilih jalan hidupnya. Dalam buku Ludruk Karya Budaya Mbeber Urip, Edy Karya yang bernama asli Eko Edy Susanto menuturkanSaya memang memberikan ruang ekspresi kreaivitas bagi travesi di Ludruk Karya budaya. Tapi, di sini lain saya idak mengikat mereka untuk terus bertahan di grup Ludruk Karya Budaya. Mereka saya beri kebebasan untuk memilih. Jika ada yang lebih baik untuk hidup mereka di luar ludruk, saya persilakan mereka 95DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020untuk idak meneruskan bergabung. Pilihan kehidupan ada di tangan mereka sendiri. Yang bisa merasakan apakah mereka bahagia atau idak keika bergabung dengan kami adalah hai mereka sendiri. Bukan kami. Ludruk hanyalah alternaif suatu jalan seni untuk mengantar apa yang menjadi tujuan mereka dalam kehidupan ini. 2014167Dari penuturan Edy Karya di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa sebagai Besir Edy Karya memberikan kebebasan yang luas pada para travesi yang bergabung dalam ludruk yang dia pimpin. Kita juga bisa menggarisbawahi bagaimana Edy Karya berusaha menyelami kondisi psikologis para travesi dalam ludruk karya budaya. Dengan bersikap demikian, Edy Karya menunjukkan bahwa kelompok ludruk bukan menjadi tambatan terakhir bagi seorang travesi. Jika seorang travesi telah menemukan kegiatan lain yang lebih menjanjikan dan membahagiaakan, Sang Besir ludruk Karya Budaya itu idak mempermasalahkan. Tantangan hidup seorang Travesi seperi Juminten digambarkan Murtono dalam novel Samaran idak hanya berkaitan dengan lingkungan internal ludruk semata. Juminten idak hanya menjadi perhaian penonton keika berada di panggung namun juga keika dia sudah turun dari panggung. Dunia panggung yang dipenuhi oleh sandiwara’ penuh acing karena tuntutan lakon berbeda dengan kehidupan sosial di luar panggung. Juminten yang telah menarik perhaian kepala kampung sejak awal datang, sebagaimana dikisahkan Murtono, akhirnya memiliki hubungan dengan kepala kampung. Hubungan yang diciptakan Murtono dalam novel ini makin membuat alur dan kisah cerita dalam novel menjadi menarik. Hubungan Juminten dengan kepala kampung tentu saja akan menimbulkan konlik baru yang meluas karena kepala kampung sudah beristri dan karena Juminten adalah fi gur yang disukai dan diutamakan oleh sang Besir Ludruk. Kecemburuan dan perseteruan bisa muncul. Kehidupan seorang travesi yang begitu dinamis dalam pusaran ludruk dan kehidupan sosial mengonstruksi idenitas seorang 96 KRITIK SENItravesi yang dalam dunia kesenian ludruk dibutuhkan, namun dalam kehidupan sosial kadang dihina bahkan antologi puisinya Ludruk Kedua, Murtono menggambarkan suara dan idenitas travesi secara lebih puiik melalui puisinya yang berjudul Travesi. Puisi ini menguak jagat bain dan kehidupan travesi dengan larik-larik puisi yang membuat kita sebagai pembaca puisi bisa tenggelam dalam suara-suara puiik ituKostum, riasan, beserta segenapPeralatannya memandangnya gamangdan seperi menggeremeng,”benarkahkami mesi menjadi bagian dari seterumu dengan Tuhan?Tapi ia idak pernah menginginkanPertengkaran, meski hanya sebuahApalagi dengan Tuhania mengangankan sebuah takdiryang dipilihnya sendiri, yang takmembikinnya merasa geir meniinyadan ia mengerihanya di sana, di atas pentas tobonganatau di panggung teropania bisa menjadi apa yang dikehendakinyamenjelma lelaki yang dipanggil simbol,atau putri, atau embandan orang-orang menerima itu semuasebagai kewajaran belakawalau seiap kali sebuah lakonselesai, ia menggumam tanpa 97DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020sadar,”benarkah wadag iniyang kami pilih dalam Rahimdulu?”Murtono, 2017 21-22Puisi Travesi di atas sebenarnya terlalu lugas sebagai sebuah puisi karena terasa kering dari kekuatan bahasa seperi penggunaan majas dan permainan rima. Diksi-diksi yang digunakan juga idak merepresentasikan simbol yang bermakna lain dari makna leksikal diksi itu. Namun, penggambaran yang jelas dan disertai dengan kuipan pernyataan langsung dalam puisi dia atas membuat deskripsi tentang travesi menjadi lebih mudah ditangkap dan dipahami. Kesan pertama membaca puisi di atas, saya merasakan bagaimana persona kami’ di bait awal yang dalam pikiran saya mewakili para travesi sedang mempertanyakan eksitensi mereka yang seringkali dianggap melawan kehendak dan aturan Tuhan oleh sebagian anggota masyarakat. Travesi dalam bait pertama seakan menyadari posisinya yang sering dijadikan musuh’ oleh sebagaian orang beragama, karena, misalnya, relasi antar sesama jenis secara inim dilarang dalam ajaran dalam puisi di atas, travesi juga menyampaikan pemberontakan dan perlawanan atas sigma negaif atas diri mereka karena mereka merasa idak pernah memilih untuk menjadi seorang travesi. Baris-baris puisi seperi “Ia mangangankan sebuah takdir/yang dipilihnya sendiri/yang tak/membikinnya merasa geir meniinya/” adalah semacam pledoi bahwa mereka tak pernah meminta diciptakan menjadi demikian. Status sebagai seorang travesi mengandung beban yang membuat susah, karena seorang travesi harus berhadapan dengan penilian publik yung memandangnya sebelah mata. Peran mereka di dalam kesenian ludruk sudah dianggap biasa dan oleh karena itulah dalam dunia ludruk posisi wandu atau travesi telah diterima sebagai kewajaran Dan orang-orang menerima itu semua/sebagai kewajaran belaka. Yang menarik dari puisi Travesi ini adalah 98 KRITIK SENIpenggunakan sudut pandang orang keiga dan juga sudut pandang orang pertama, termasuk penggunaan kami untuk membangun pandangan dinamis dari luar diri travesi dan dari dalam diri travesi sendiri tentang eksistensi dan idenitas travesi. Pertanyaan eksistensial yang muncul dari persona travesi dalam puisi di atas mengindikasikan proses releksi diri, pencarian jai diri sekaligus resistensi terhadap sigma negaif yang seringkali terus disematkan pada travesi. Menyaksikan budaya lokal dan kesenian tradisional dalam novel Samaran dan antologi puisi Ludruk kedua, saya seperi tengah melihat sebuah dinamika seni budaya Jawa Timur yang dikonstruksi melalui medium karya sastra. Kita bisa melihat juga bagaimana penulisan Ludruk Kedua tak bisa dipisahkan dari idenitas Murtono sebagai generasi yang lahir di wilayah atau lingkungan di mana ludruk muncul, tumbuh dan berkembang. Ludruk menjadi samudera tanda tanya dan sumber penasaran sekaligus inspirasi yang mendorong mereka yang ingin tahu untuk belajar. Dalam puisi bertajuk Cak Markeso Murtono menegaskan keinginan persona aku’ untuk lebih dekat dengan ludruk dan terus menyerap sari pai pesan-pesan posiif dari dunia ludrukAku penyair bimbang, cakBimbing akuAku tak kuat berjalan dengan memanggulPerut lapar, dalam kertasku, kata-kataTak ada yang abadiMaka tunjukkan cak, duniamu ituSemesta ludruk ontang-aningmu itu, kaki yang takLelah menghela langkah, dan bagaimanaApa yang kau ucap di depan tukang becak penggemarAtau pinggir kali dengan sedikit pendengarTerus terngiang hingga kini, takLungkrah-lungkrah, tak payah-payahMurtono, 201691 99DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR 2020Dalam penggalan puisi di atas, persona aku’ memiliki spirit untuk belajar tentang hal ihwal ludruk. Ada nilai-nilai dalam ludruk, sebagaimana digaungkan oleh tokoh Cak Markeso yang ingin diikui dan diteladani oleh persona aku’ dalam puisi di atas. Kesemestaan ludruk yang tergambar dalam puisi di atas adalah bagaimana aura kesenian itu begitu bisa diterima dan dinikmai oleh orang-orang kelas bawah, seperi tukang becak. Novel Samaran yang juga menguak dunia ludruk menurut saya juga tak bisa dilepaskan dari ketertarikan Murtono dalam mengeksplorasi ludruk. Samaran bagi saya memiliki benang merah dengan Ludruk Kedua. Konstruksi yang dibangun Dadang Ari Murtono tentang budaya lokal dan kesenian ludruk khsususnya makin memberikan pemaknaan yang kaya dengan sudut pandang beragam tentang seni budaya khususnya kesenian tradisional ludruk. Selama ini, kita hanya sering menyaksikan ludruk dari pentas langsung dan rekaman audio visual. Melalui novel Samaran dan buku puisi Ludruk Kedua, kita mendapatkan sajian menarik tentang bagaimana budaya lokal dan kesenian tradisional membentuk sebuah fenomena kehidupan. Ternyata, dalam karya sastra yang ditulis Murtono, sebuah kesenian tradisional bisa memengaruhi kehidupan masyarakat dan sebaliknya, kehidupan masyarakat bisa memengaruhi kesenian tradisional. 100 KRITIK SENIDAFTAR PUSTAKAFaruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta Pustaka Dadang Ari. 2016. Ludruk Kedua. Yogyakarta Dadang Ari. 2008. Samaran. Yogyakarta Slamet. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta LKiS. Peacock, James L. 2005. Ritus Modernisasi Aspek Sosial &Simbolik Teater Rakyat Indonesia. Depok DesantaraSupriyanto, Henri. 2001. Ludruk Jawa Timur Pemaparan Sejarah, Tonel Direksi, Manajemen dan Himpunan Lakon. Surabaya Dinas P Dan K Propinsi Jawa Timur. Susanto, Eko Edy. 2014. Ludruk Karya Budaya Mbeber Urip. Mojokerto Paguyuban Ludruk “Karya Budaya” Mojoketo. Sutarto, Ayu. 2004. Menguak Pergumulan antara Seni, Poliik, Islam dan Indonesia. Jember Ayu. 2004. “Pendekatan Kebudayaan Wacana Tandingan untuk Mendukung Pembangunan di Provinsi Jawa Timur”. Dalam Pendekatan Kebudayaan dalam Pembangunan Provinsi Jawa Timur. Ayu Sutarto dan Setya Yuwana Sudikan editor. Jember KomyawisdaTEMPO. 6 Oktober 2012. Gusi Allah Pun Ngunduh Mantu Seniman Lekra Mengubah Kesenian Tradisional Menjadi Progesif Revolusioner. Banyak Cerita Rakat Digubah. Wiyata, Laief. 2008. “Manusia Madura Pandangan Hidup, Perilaku, dan Etos Kerja”. Dalam Pemetaan Kebudayaan di Provinsi Jawa Timur Sebuah Upaya Pencarian Nilai-Nilai Posiif. Ayu Sutarto dan Setya Yuwana Sudikan editor. Jember Kompyawisda. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Sosiologi Sastra. Yogyakarta Pustaka PelajarFarukFaruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta Pustaka Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di NusantaraSlamet MuljanaMuljana, Slamet. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta Jawa Timur Pemaparan Sejarah, Tonel Direksi, Manajemen dan Himpunan LakonHenri SupriyantoSupriyanto, Henri. 2001. Ludruk Jawa Timur Pemaparan Sejarah, Tonel Direksi, Manajemen dan Himpunan Lakon. Surabaya Dinas P Dan K Propinsi Jawa Pergumulan antara Seni, Politik, Islam dan IndonesiaAyu SutartoSutarto, Ayu. 2004. Menguak Pergumulan antara Seni, Politik, Islam dan Indonesia. Jember Kebudayaan Wacana Tandingan untuk MendukungAyu SutartoSutarto, Ayu. 2004. "Pendekatan Kebudayaan Wacana Tandingan untuk MendukungManusia Madura Pandangan Hidup, Perilaku, dan Etos KerjaLatief WiyataWiyata, Latief. 2008. "Manusia Madura Pandangan Hidup, Perilaku, dan Etos Kerja". Dalam Pemetaan Kebudayaan di Provinsi Jawa Timur Sebuah Upaya Pencarian Nilai-Nilai Positif. Ayu Sutarto dan Setya Yuwana Sudikan editor. Jember Kompyawisda.
Julajuli adalah parikan khas Jawa Timur. Sejenis pantun jenaka berbahasa Jawa. Kesenian olah kata tradisional yang sudah ada sejak zaman dulu kala dan diwariskan secara turun temurun. Fungsi parikan sebagai pitutur (nasehat) para orang tua kepada anak muda. Sering dibawakan dalam acara pentas kesenian tradisional ludruk.
403 ERROR Request blocked. We can't connect to the server for this app or website at this time. There might be too much traffic or a configuration error. Try again later, or contact the app or website owner. If you provide content to customers through CloudFront, you can find steps to troubleshoot and help prevent this error by reviewing the CloudFront documentation. Generated by cloudfront CloudFront Request ID Zfu2UFXe-fCmujXmS1lSdqZCyDrrKV33KA1PazOOf8gTzopxwvYDPQ==
ludruksidik cs ludruk karya budaya ludruk persada putra persada
LUDRUK KESENIAN KHAS JAWA TIMUR YANG HAMPIR PUNAH Tantangan Hari Ke - 27 Indonesia memiliki banyak ragam budaya dan kesenian. Salah satunya adalah ludruk. Kesenian ini berupa drama berbahasa Jawa yang menceritakan kehidupan sehari-hari atau tentang kepahlawanan. Dalam pementasannya ludruk diiringi music gamelan yaitu music tradisional Jawa. Saat ini ludruk sudah jarang dipentaskan. Keberadaannya terkalahkan dengan kesenian lain yang lebih disukai anak-anak muda. Dulu ludruk biasanya dipentaskan pada acara-acara penting peringatan hari besar atau pada acara hajatan. Pertunjukan ludruk diawali dengan tari remo yang dibawakan oleh seorang penari. Pada pertengahan tarian biasanya penari akan membawakan sebuah lagu berbahasa Jawa yang disebut nggandang. Tari remo ini menggambarkan seorang yang gagah dan tampan dengan rias wajah dan busana yang menarik. Ciri khasnya adalah penari memakai gelang kaki yang disebut gongseng. Jika kakinya dihentakkan akan berbunyi cring-cring. Pemain ludruk dalam pementasan tidak menggunakan naskah, karena itu mereka harus pandai berimprovisasi dan mengembangkan jalan cerita yang sudah dibuat. Biasanya ludruk terdiri dari tiga babak yaitu remo, dagelan dan cerita. Ciri khas ludruk yaitu jula-juli, lagu berbahasa jawa yang berisi nasihat, guyonan dan diakiri dengan parikan atau pantun berbahasa Jawa. Selain hiburan ludruk juga sebagai sarana penerangan untuk masyarakat. Pada masa penjajahan pemain ludruk memanfaatkan pertunjukan sebagai alat penerangan masyarakat untuk mempersiapkan kemerdekaan. Bahkan pemerintah Jepang menangkap Cak Durasim dan memasukkannya ke dalam penjara hingga meninggal karena tembang jula-julinya yang terkenal, Bekupon omahe doro, melok nipon tambah soro Bekupon rumahnya burung dara, ikut Jepang tambah sengsara Ludruk sendiri berasal dari kata gela-gelo dan gedrak-gedruk. Seperti tari remo pada awal pertunjukan, kepalanya gela-gelo atau menggeleng-geleng dan kakinya gedrak-gedruk atau menghentak-hentak. Kesenian ludruk ini lahir sekitar tahun 1907 – 1915 di daerah Jombang dan berkembang di seluruh daerah Jawa Timur. Majunya arus perkembangan teknologi dan komunikasi membawa banyak dampak pada kesenian tradisional. Banyak kebudayaan dan kesenian tradisional yang punah akibat kurangnya antusias penonton termasuk ludruk. Masyarakat lebih memilih menonton film atau sinetron karena ceritanya yang lebih menarik. Anak-anak muda lebih menyukai film-film barat atau artis-artis korea. Dan sekarang orang-orang lebih menyukai pertunjukan dangdut daripada ludruk. Sebenarnya sayang jika kesenian tradisional seperti ludruk ini punah tergerus perkembangan jaman. Kewajiban pemerintah bersama masyarakat melestarikannya. Agar anak cucu kita nanti masih bisa menikmati kekayaan budaya asli bangsanya. Kuripansari, 30 Juli 2020 DISCLAIMER Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini. Laporkan Penyalahgunaan
LAWAKDAGELAN LUCU DALAM SENI LUDRUK JAWA TIMURAN KARYA BUDAYA Ngroto - Pujon - Malang Culture from east java Indonesia
Seperti halnya ketoprak dari Jawa Tengah, ludruk dari Jawa Timur juga merupakan pertunjukan yang menghibur Tidak hanya bahasa verbal, guyonan dalam ludruk pun disampaikan melalui gerak - sehingga bisa dimengerti oleh masyarakat luas Tidak hanya pandai melucu, pemain ludruk pun harus memiliki kemampuan menyanyi dan menari Kartolo, seorang seniman ludruk yang sangat terkenal. Pria kelahiran Surabaya, Jawa Timur, ini sudah puluhan tahun menggeluti ludruk Salah satu perbedaan ludruk dengan ketoprak adalah cerita. Ludruk mengangkat kisah sehari-hari sementara ketoprak mengangkat kisah sejarah Tari remo akan menjadi pembuka pertunjukan ludruk. Tari remo ini hanya dibawakan oleh seorang penari Walau menceritakan kisah sehari-hari, set panggung dalam pertunjukan ludruk terlihat sederhana - terkadang ada bagian yang tanpa menggunakan set Pertunjukan ludruk biasa mengangkat tema kehidupan sehari-hari dan kisah perjuangan Karena tidak mengenal naskah layaknya pertunjukan modern, kemampuan improvisasi para pemain ludruk sangat penting Pertunjukan ludruk akan diiringi oleh pemain musik dan penyanyi. Sering kali para pemain akan berinteraksi dengan kelompok musik ini KISAH yang diangkat merupakan cerita sehari-hari yang dekat dengan kehidupan masyarakat. Bahasanya mudah dimengerti, bahkan diselingi guyonan dan gerak yang bisa membuat penonton terpingkal-pingkal. Ludruk merupakan kesenian teater rakyat Jawa Timur yang berasal dari kalangan rakyat jelata. Di Surabaya ludruk masih kerap dipentaskan, bertahan meski hanya dimainkan oleh beberapa puluh orang. Ludruk merupakan salah satu jenis teater tradisi. Artinya ludruk tumbuh dari ekspresi rakyat kebanyakan. Tema-tema ceritanya muncul dari permasalahan keseharian rakyat. Dipentaskan dengan bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat kalangan bawah. Karena itu pula ludruk dinilai sebagai teater rakyat. Dalam pertunjukan ludruk biasanya terdapat unsur tari remo, dagelan, selingan, dan cerita lakon. James L. Peacock dalam Ritus Modernisasi Aspek Sosial & Simbolik Teater Rakyat Indonesia, menulis bahwa isi dari tarian remo, dagelan, selingan, dan cerita bervariasi dari satu pertunjukan ke pertunjukan lain, serta isi dan elemen-elemen lain bervariasi secara hampir bebas dari isi dari elemen-elemen lain. “Sebuah rombongan ludruk katakan saja biasa menampilkan enam dagelan yang berbeda, enam cerita yang berbeda, dan tiga jenis ngremo selama 20 pertunjukannya berturut-turut,” tulis Peacock. Tak ada pakem yang pasti terhadap pertunjukan ludruk, seperti jumlah pemain dan jumlah babak. Para pemain ludruk dituntut berimprovisasi dan mengembangkan jalan cerita yang sudah dibuat terlebih dahulu. Ludruk mulai dikenal pada abad ke-12. Saat itu namanya Ludruk Bandhan. “Ludruk Bandhan ini mempertunjukkan sejenis pameran kekuatan dan kekebalan yang bersifat magis dengan menitikberatkan pada kekuatan batin,” catat Sunaryo dkk dalam Perkembangan Ludruk di Jawa Timur Kajian Analisis Wacana Ludruk Bandhan biasanya tampil di tanah lapang. Alat musik pengiringnya antara lain kendang dan jidor. “Pertunjukan ini seringkali digunakan sebagai pengobatan anak yang sedang sakit,” ungkap Ayu Sutarto dalam makalah seminar berjudul “Reog dan Ludruk Dua Pusaka Budaya Dari Jawa Timur Yang Masih Bertahan”. Kemudian Ludruk Bandhan berkembang menjadi Lerok Pak Santik selama abad ke-17 sampai 18. Lerok berasal dari kata “lira”, yaitu alat musik petik seperti kecapi. Alat ini digunakan selama pertunjukan. Pak Santik, seorang petani dari Jombang, Jawa Timur, adalah tokoh yang memperbaharui kesenian ludruk. Selama pertunjukan, dia memakai riasan muka dan ikat kepala. Dadanya dibiarkan tanpa kain penutup. Celananya menjuntai hingga atas mata kaki dan berwarna hitam. Dia juga menyampirkan selendang yang disebut sampur. Dalam pertunjukan, Pak Santik menari ngremo sembari berbicara sendiri mengungkapkan isi hatinya kidungan. Dia mahir memakai mulut untuk menyuarakan bebunyian yang menyerupai alat musik. Kakinya seringkali menghentak-hentak tanah lapang sehingga menimbulkan bunyi gedrak-gedruk. Dari sinilah kemungkinan asal kata ludruk. Pak Santik biasanya tampil atau nanggap dalam pesta pernikahan, sunatan, dan kelahiran di kampung-kampung. Karena kelimpahan order, dia mengajak teman-teman untuk membantunya. Semuanya laki-laki. Teman-teman Pak Santik berperan sebagai pelawak badhut dan perempuan teledhek. Pak Santik tak lagi berbicara sendiri. Mulai ada unsur dialog dan cerita lakon dalam ludruk. Mereka tak hanya mengandalkan mulut sebagai pelempar guyonan, tapi juga bahasa tubuh. Pertunjukan semacam ini diikuti seniman lain dan berkembang di Surabaya, Malang, dan Mojokerto. Ludruk kemudian identik dengan guyonan. Awalnya lebih banyak memainkan dagelan slapstick lawak kasar fisik. Namun, setelah muncul ludruk Cak Gondo Durasim pada 1920-an, banyak perubahan dalam konsep dagelan. Ludruk lebih cenderung ke lawak halus, dengan permainan kata-kata dan sindiran sosial-politik. Cak Durasim adalah sosok yang melegenda di dunia kesenian ludruk. Pemimpin kelompok Ludruk Genteng, yang lebih dikenal dengan nama Ludruk Gondo, ini melakukan pembaruan terhadap kesenian ludruk. James L. Peacock menyebut sebuah deskripsi mengenai ludruk yang diterbitkan tahun 1930 melaporkan bahwa Durasim baru saja mengorganisir sebuah “jenis ludruk baru”. Cak Durasim juga memanfaatkan pertunjukan rakyat ini untuk menyampaikan ide-ide nasionalisme dan perlawanan. Pada masa Jepang, meski dalam kontrol ketat, Cak Durasim menciptakan kidungan yang legendaris “Pegupon omahe doro, melok Nipon tambah soro.” Artinya, “pegupon rumah burung dara, ikut Nipon tambah sengsara.” “Sebagai akibatnya, menurut satu cerita, dia disiksa oleh tentara Jepang dan kemudian meninggal dunia pada tahun 1944,” sebut Peacock. Semangat Cak Gondo Durasim dilanjutkan oleh Wibowo atau Cak Gondo bersama Ludruk Marhaen yang terkenal pada era 1950-an hingga 1965 dengan semangat revolusionernya. Sempat redup di awal Orde Baru, sejumlah seniman ludruk muncul ke permukaan dan meraih popularitas. Salah satunya Kartolo Cs, yang bukan hanya sukses dalam setiap pertunjukan tapi juga kaset rekaman yang diterima baik oleh masyarakat. Fuji Rahayu dalam penelitiannya berjudul “Perkembangan Seni Pertunjukan Ludruk di Surabaya tahun 1980-1995 Tinjauan Historis Grup Kartolo CS” dimuat jurnal Avatara, Vol. 2, No. 2, Juni 2014, menyebut kreativitas Kartolo dan kawan-kawan menampilkan lawak bergaya ludrukan mampu mengangkat kembali pamor ludruk yang sempat redup. “Kartolo mengedepankan lawak dengan gaya ludrukan, daripada menampilkan ludruk secara utuh. Hal ini disebabkan karena ludruk sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman,” catat Fuji Rahayu. Hingga saat ini ludruk bisa bertahan karena lakon-lakon yang dipentaskan sangat aktual dan akrab dengan budaya setempat. Tentu saja disampaikan dengan bahasa yang komunikatif dan disertai lawakan yang menghibur.* Artikel Terkait
KBRN Batang: Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) Rutan Kelas IIB Batang menampilkan kesenian tradisional ludruk Jawa Timuran, untuk menghadirkan semangat rakyat Surabaya, ketika harus mempertahankan kemerdekaan, dari penjajah. Kepala Rutan Batang, Rindra Wardhana mengutarakan, dipilihnya kesenian ludruk, karena suasana Kota Surabaya
Jakarta - Ludruk adalah seni pertunjukan atau drama tradisional dari Jawa Timur yang diperankan oleh sebuah grup kesenian. Kesenian ludruk diselenggarakan di sebuah panggung dengan mengangkat kisah kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan, dan sebagainya yang ditambah dengan lawakan. Pada setiap pertunjukannya, ludruk selalu diiringi dengan gamelan sebagai sangatlah berbeda dengan ketoprak dari Jawa Tengah atau Yogyakarta, lenong Betawi dari DKI Jakarta, ataupun longser dari Jawa Barat. Kesenian pertunjukan tersebut cenderung menceritakan kisah zaman dulu, baik itu sejarah maupun dongeng dan bersifat menyampaikan sebuah pesan tertentu. Sementara itu, ludruk mengangkat kisah hidup sehari-hari dari kalangan rakyat biasa dan bersifat menghibur sehingga membuat penontonnya tertawa terbahak-bahak. Meskipun sekarang, kesenian daerah tersebut bisa mengangkat tema legenda maupun seni pertunjukan ludruk juga memiliki salah seorang pelawak legendaris yang bernama Kartolo. Ia berasal dari Surabaya, Jawa Timur dan sudah lebih dari 40 tahun hidup dalam dunia seni ludruk. Nama Kartolo dan suaranya yang khas dengan candaan yang lugu dan cerdas, dikenal hampir di penjuru Jawa Timur, bahkan hingga Jawa ataupun monolog dalam ludruk bersifat menghibur sehingga membuat para penonton tertawa. Ludruk ditampilkan dengan menggunakan dialog khas berbahasa Surabaya. Meskipun terkadang ada bintang tamu dari daerah lain, seperti Jombang, Malang, Madura, atau Madiun dengan logat yang berbeda, tetapi bahasa lugas yang digunakan dalam pertunjukannya mudah dimengerti oleh semua dari buku yang berjudul Ludruk Jawa Timur Pusaran Zaman, sebuah pertunjukan ludruk yang biasa dibuka dengan penampilan seseorang membawakan Tari Remo. Selain itu, ludruk juga diselingi dengan pementasan seorang tokoh yang memerankan Pak Sakera, seorang jagoan Madura. Inilah yang menjadi ciri khas seni pertunjukan ludruk yang berbeda dengan pertunjukan Seni Pertunjukan LudrukIklan Untuk lebih jelas lagi, berikut terdapat karakteristik seni pertunjukan ludruk yang harus selalu ada. Pertunjukan dilakukan secara improvisatoris atau tanpa persiapan naskah, Memiliki kesepakatan dalam mengangkat sebuah kisah konvensi, Terdapat pemeran perempuan yang diperankan oleh laki-laki, Memiliki lagu khas, yaitu berupa kidungan jula-juli, Iringan musik berupa gamelan berlaras pelog, slendro, dan laras slendro, Pertunjukan dimulai dengan penampilan Tari Ngremo asal Jombang, Jawa Timur, Terdapat adegan Bedayan, yakni tarian joget ringan oleh beberapa transvestite mengenakan pakaian perempuan oleh laki-laki sambil melantunkan kidungan jula-juli, Terdapat adegan lawak dan selingan parodi, Terdapat berbagai kidungan, yakni kidungan Tari Ngremo, kidungan bedayan, kidungan lawak, dan kidungan adegan, Kidungan terdiri atas pantun atau syair yang bertema kehidupan sehari-hari, Tata busana menggambarkan kehidupan rakyat sehari-hari, Bahasa disesuaikan dengan lakon yang dipentaskan, yaitu berupa bahasa Jawa atau Madura, dan Tampilan dikemas secara sederhana dan tidak ada batas sangat akrab dengan FARAHDIBA R Baca Kesenian Ludruk Tergeser Televisi Sejak 1990Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.
Sebelumada Ludruk di Jombang telah ada beberapa jenis kesenian rakyat seperti sandur, kuda lumping, wayang gedong, wayang krucil, dan lain - lainnya. Ludruk menggunakan bahasa Jawa dengan dialek JawaTimuran. Dalam perkembangannya Ludruk menyebar ke daerah -daerah sebelah barat, karesidenan Madiun, Kediri dan sampai ke Jawa Tengah.
NgobrolSantai tentang Menjaga Budaya Ludruk Bareng Cak Robet Bayoned Kenapa kita harus menjaga Budaya Ludruk, karena dengan menjaga Budaya asli Jawa kita akan selalu ingat dan menghormati leluhur. Karena di era Modern saat ini, budaya tersebut semakin lama akan pudar bahkan hilang. kita menyadarinya, kapan dan dimana ludruk ini muncul, dan apa sebab Ludruk yang semakin hari semakin
Lakonludruk Jawa Timur By:Henri Supriyanto Published on 1992 by . Description of ludruk, a Javanese folk play in Jawa Timur province. This Book was ranked at 17 by Google Books for keyword banyolan.. Book ID of Lakon ludruk Jawa Timur's Books is ZP5kAAAAMAAJ, Book which was written byHenri Supriyantohave ETAG "wzU8fKbbouI"
. sbccdv6czt.pages.dev/151sbccdv6czt.pages.dev/151sbccdv6czt.pages.dev/708sbccdv6czt.pages.dev/464sbccdv6czt.pages.dev/390sbccdv6czt.pages.dev/629sbccdv6czt.pages.dev/309sbccdv6czt.pages.dev/873sbccdv6czt.pages.dev/118sbccdv6czt.pages.dev/617sbccdv6czt.pages.dev/35sbccdv6czt.pages.dev/542sbccdv6czt.pages.dev/873sbccdv6czt.pages.dev/223sbccdv6czt.pages.dev/462
naskah ludruk jawa timur lucu